Gelar ini mengakui masa kekuasaannya yang panjang, namun penuh dengan praktik otoritarianisme dan korupsi.
Penerbit OCCRP, Drew Sullivan, menjelaskan bahwa korupsi sering menjadi pilar utama bagi pemerintah otoriter untuk mempertahankan kekuasaan.
“Pemerintahan yang korup melanggar hak asasi manusia, memanipulasi pemilu, menjarah sumber daya alam, dan menciptakan konflik dari ketidakstabilan negara mereka. Akhirnya, mereka hanya menghadapi dua pilihan: keruntuhan atau revolusi,” ujarnya.
OCCRP menyelenggarakan nominasi ini sebagai bagian dari kampanye tahunan mereka untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak korupsi terhadap masyarakat global.
Prosesnya dimulai dengan pengumpulan nama melalui Google Form dengan judul "Who is the Most Corrupt Person of 2024?" Setelah itu, kelompok juri yang terdiri dari ahli kejahatan terorganisasi dan korupsi memilih finalis dan pemenang.
Sejak didirikan pada tahun 2007 oleh Drew Sullivan dan Paul Radu, OCCRP telah menobatkan sejumlah tokoh sebagai "Person of the Year" dalam kejahatan organisasi dan korupsi, termasuk mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sebagai organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia, OCCRP terus menjunjung tinggi misi mereka untuk mendukung pelaporan kepentingan publik dan mengungkap jaringan kejahatan terorganisasi di seluruh dunia.
Masuknya nama Jokowi dalam daftar ini memicu perdebatan di tingkat nasional dan internasional.
Bagi sebagian pihak, nominasi ini dianggap sebagai kritik keras terhadap gaya kepemimpinannya.
Namun, bagi yang lain, ini dinilai sebagai upaya untuk mendiskreditkan tokoh-tokoh tertentu di kancah global.