Tangis Dedi Mulyadi, Murka Alam Puncak Bogor, Derita Warga Korban Banjir

Redaksi - Jumat, 7 Maret 2025 | 17:36 WIB

Post View : 46

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tak kuasa menahan tangis ketika melihat alih guna lahan di kawasan Puncak Bogor, Jawa Barat. Alih guna lahan ini diduga menjadi pemicu banjir. (BANUATERKINI/ KOMPAS.COM/AFDHALUL IKHSAN)

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tak kuasa menahan air mata saat menyaksikan langsung dampak kerusakan lingkungan di kawasan Puncak Bogor.

Banuaterkini.com, BOGOR - Saat melakukan inspeksi bersama Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol dan pejabat lainnya, Dedi melihat tanah yang longsor dan ekosistem yang rusak akibat alih guna lahan untuk kepentingan wisata.

Di Megamendung, salah satu titik kritis yang terdampak, Dedi Mulyadi terdiam lama, sebelum akhirnya menyeka air mata berkali-kali.

Tatapannya tertuju pada lereng yang terbelah, tanah yang amblas, dan pohon-pohon yang tercerabut akibat pembangunan wisata, termasuk proyek jembatan gantung. Dengan suara bergetar, ia mengungkapkan kekecewaannya.

“Lihat itu, sudah ada bangunan di sana. Longsor sampai sejauh itu. Kenapa harus ada pembangunan seperti ini di kawasan yang seharusnya dilindungi?” ujar Dedi dengan nada geram, suaranya sesekali tertahan emosi.

Pemandangan ini menjadi saksi bisu bagaimana eksploitasi kawasan hutan dapat mengubah keseimbangan alam dalam hitungan waktu yang singkat.

Longsor yang terjadi di Puncak Bogor bukan sekadar fenomena alam, melainkan akibat dari aktivitas manusia yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan.

Dedi Mulyadi, yang selama ini dikenal sebagai pemimpin dengan kepedulian tinggi terhadap lingkungan, tidak dapat menutupi kesedihannya.

Tangisnya bukan sekadar ekspresi emosi pribadi, tetapi juga alarm keras bagi semua pihak yang terlibat dalam perusakan ini.

Di tengah kepentingan ekonomi yang terus mendesak pembangunan wisata, Dedi menegaskan bahwa ada batas yang tidak boleh dilanggar: keseimbangan ekosistem dan keselamatan warga.

“Masak alam kayak gini aja diganggu? Kita harusnya belajar dari bencana-bencana sebelumnya. Ini bukan sekadar soal pariwisata, tapi soal kehidupan,” lanjutnya, sembari menatap ke arah sungai yang kini dipenuhi lumpur dari material longsor.

Dampak dari kerusakan ini tidak hanya dirasakan di kawasan Puncak Bogor, tetapi juga menghantam Jakarta, Depok, dan Bekasi.

Dalam beberapa hari terakhir, hujan deras yang mengguyur menyebabkan banjir besar di wilayah Jabodetabek. Ribuan warga terdampak, rumah-rumah terendam, dan akses jalan lumpuh total.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melaporkan bahwa banjir di beberapa titik di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur diperparah oleh sedimentasi lumpur yang terbawa dari kawasan hulu, termasuk Puncak Bogor.

Sementara itu, di Depok, genangan air setinggi satu meter memaksa ratusan warga mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Bekasi pun mengalami nasib serupa, di mana banjir di perumahan-perumahan padat penduduk semakin meluas akibat air kiriman dari daerah hulu yang mengalami erosi parah.

“Ini bukan hanya bencana di satu tempat, tapi efek domino dari perusakan alam yang tidak terkendali,” ujar seorang warga korban banjir di Jakarta Timur yang rumahnya terendam hampir dua meter.

Dedi juga mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas izin pembangunan di kawasan ini.

Saat mendapat jawaban bahwa izin tersebut dikeluarkan oleh bupati sebelumnya, ia dengan tegas meminta evaluasi ulang izin-izin yang berpotensi merusak lingkungan.

“Saya minta ini dievaluasi. Kita koordinasi dengan KLH. Kalau dari aspek regulasi bisa dicabut, segera lakukan,” tegasnya.

Kritik Dedi Mulyadi menggambarkan bagaimana konflik antara pembangunan dan kelestarian lingkungan masih menjadi dilema besar di Indonesia.

Di satu sisi, pengembangan wisata menjadi sumber pemasukan bagi daerah. Namun, di sisi lain, tanpa pengawasan yang ketat, eksploitasi berlebihan dapat membawa bencana bagi masyarakat sekitar.

Dengan air mata yang menjadi saksi, Dedi menegaskan bahwa pemerintah harus bertindak lebih keras dalam menjaga kawasan-kawasan yang rentan terhadap bencana akibat alih fungsi lahan.

Penyegelan dan pembongkaran tempat wisata ilegal ini bukan hanya langkah hukum, tetapi juga pesan moral bahwa alam bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.

Laporan: Farha S Sughandi
Editor: Ghazali Rahman
Baca Juga :  Siap Meluncur, 17 Unit Angkutan Juara Perluas Akses Transportasi Banjarbaru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev