Perkumpulan Penulis Indonesia (SATUPENA) bersama 1001 tokoh dan aktivis dari berbagai kalangan telah resmi menutup petisi yang berisi kecaman terhadap pelemahan demokrasi di Indonesia.
Banuaterkini.com, JAKARTA - Petisi yang diawali pada akhir Agustus ini memprotes "upaya tertentu" untuk menganulir dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024, yang dinilai sebagai ancaman serius terhadap kedaulatan rakyat dan demokrasi di Indonesia.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan pada 7 September 2024, salah satu penggagas petisi, Swary Utami Dewi, menyampaikan bahwa petisi tersebut adalah bentuk "keprihatinan hati nurani rakyat" terhadap kondisi bangsa.
"Puji syukur kepada Tuhan YME karena pada Sabtu, 7 September 2024, petisi ini selesai dan ditutup resmi," ujar Swary melalui saluran WhatsApp, Minggu (08/09/2024).
Petisi ini awalnya ditutup pada 27 Agustus, namun diperpanjang hingga mencapai dukungan 1001 tokoh, yang terdiri dari anggota SATUPENA di berbagai daerah, komunitas terkait, serta kolega dan sahabat dari beragam latar belakang.
Swary Utami Dewi menambahkan bahwa petisi ini lahir dari keprihatinan atas pelemahan demokrasi, serta kekhawatiran terkait berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Ini merupakan petisi organik yang dihasilkan dari kerja berjaringan berbasis prinsip untuk menjaga dan menjadikan Indonesia lebih baik," jelasnya.
Di antara 1001 tokoh yang mendukung petisi ini terdapat nama-nama besar seperti Garin Nugroho (sutradara dan budayawan), Komaruddin Hidayat (cendekiawan dan mantan Rektor UIN Jakarta), Butet Kartaredjasa (seniman dan aktor), ahli hukum tata negara Denny Indrayana dan Frans Magnis Suseno (Rohaniwan Katolik, filsuf dan budayawan) yang sering tampil di media nasional dalam mengkritisi perkembangan politik dan hukum di Indonesia.
SATUPENA dalam siaran persnya mengajukan sejumlah tuntutan sebagai bentuk kekhawatiran mereka: