RANS303 INDOSEVEN RANS303

Serikat Buruh Gugat Tapera, Nilai Potongan Wajib adalah Perampokan

Redaksi - Kamis, 19 September 2024 | 20:54 WIB

Post View : 0

Denny Indrayana mewakili 11 serikat buruh minta mahkamah konstitusi batalkan kewajiban Tepera.. (BANUATERKINI/Integrity Law Firm)

Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang memotong 3 persen dari penghasilan pekerja kembali menuai kontroversi. Kali ini, sebelas serikat buruh yang mewakili ratusan ribu pekerja di seluruh Indonesia menggugat kebijakan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini diajukan karena mereka menilai kebijakan Tapera memberatkan dan bertentangan dengan konstitusi.

Banuaterkini.com, JAKARTA - Gugatan tersebut didampingi oleh Denny Indrayana mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, yang kini menjadi pengacara dari firma hukum INTEGRITY.

Denny menyatakan bahwa kewajiban pemotongan 3 persen gaji pekerja yang diatur oleh UU Tapera bukan hanya melanggar hak asasi buruh, tetapi juga berpotensi membuka ruang terjadinya korupsi dalam pengelolaan dana publik.

"Pengalaman sebelumnya, program-program tabungan atau iuran semacam ini terbukti gagal dan hanya menjadi ladang korupsi bagi elit penguasa. Ini sangat tidak rasional jika pemerintah menambah program serupa lagi. Kewajiban Tapera bukan tabungan, melainkan perampokan terhadap penghasilan pekerja," ujar Jumhur Hidayat, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, dalam keterangannya, Rabu (18/09/2024).

Salah satu alasan utama serikat buruh menolak Tapera adalah karena tambahan potongan ini akan semakin membebani penghasilan para pekerja.

Sebagai gambaran, saat ini para pekerja dengan gaji rendah sudah mendapatkan potongan sebesar 8,7 persen untuk berbagai kewajiban, seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan pajak penghasilan.

Dengan adanya tambahan potongan 3 persen dari Tapera, total potongan gaji pekerja bisa mencapai 11,7 persen.

Bagi buruh, potongan sebesar itu bukanlah angka yang kecil. "Pekerja sudah cukup terbebani dengan berbagai pemotongan yang ada. Jika ditambah dengan Tapera, jelas ini akan sangat mempengaruhi pendapatan bulanan mereka," ujar Jumhur.

Gugatan ini juga didasari oleh kekhawatiran terkait potensi korupsi dalam pengelolaan dana Tapera, terutama setelah beberapa skandal besar terkait pengelolaan dana publik seperti Jiwasraya, Taspen, dan Asabri.

Kasus-kasus tersebut menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 41 triliun dan berdampak pada nasib jutaan pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) dan prajurit yang kehilangan tabungan masa tua mereka.

Denny Indrayana menyebut bahwa Tapera dapat mengalami masalah serupa jika tidak ada transparansi dan pengelolaan yang baik.

“Kasus-kasus seperti Jiwasraya, Taspen, dan Asabri adalah contoh nyata bagaimana dana publik bisa disalahgunakan. Program Tapera, yang diwajibkan tanpa adanya mekanisme kontrol yang jelas, bisa menjadi risiko besar bagi para pekerja yang seharusnya dilindungi oleh negara," tegasnya.

Lebih lanjut, dari sisi hukum, Denny menjelaskan bahwa UU Tapera bermasalah secara konstitusional. Ia mengacu pada Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa negara hanya boleh menarik pajak dan pungutan wajib.

Menurutnya, tabungan seperti Tapera seharusnya bersifat opsional dan tidak dapat dipaksakan kepada pekerja.

“Selain tidak sesuai dengan konsep pajak dan pungutan dalam konstitusi, kewajiban Tapera ini juga bertentangan dengan hak-hak dasar warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum yang dijamin UUD 1945. Tabungan seharusnya bukan sesuatu yang wajib, melainkan hak yang dapat dipilih oleh setiap pekerja,” jelas Denny.

Ia juga menyoroti bahwa dalam Naskah Akademik RUU Tapera, tabungan ini tidak dimaksudkan menjadi kewajiban yang mengikat.

Namun, tiba-tiba dalam undang-undangnya, tabungan tersebut berubah menjadi wajib, yang semakin menunjukkan adanya masalah konstitusional dalam kebijakan ini.

Sebagai perbandingan, Denny juga menyebutkan bahwa negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, Singapura, dan Malaysia telah berhasil memberikan akses perumahan kepada warganya tanpa mewajibkan potongan tabungan bagi pekerja.

Di sisi lain, China yang mengadopsi model serupa dengan Tapera, masih menghadapi masalah besar dalam penyediaan hunian yang layak bagi warganya.

"Program serupa yang diwajibkan di China juga tidak berhasil secara signifikan. Kebutuhan perumahan di sana masih sangat memprihatinkan, ini menjadi bukti bahwa program dengan konsep seperti Tapera tidak selalu efektif," tambah Denny.

Melalui gugatan ini, serikat buruh berharap Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan kebijakan Tapera yang dianggap tidak hanya memberatkan, tetapi juga inkonstitusional.

Mereka juga menuntut agar pemerintah mencari solusi yang lebih baik dalam penyediaan perumahan bagi rakyat tanpa membebani pekerja dengan potongan yang justru memperparah kesejahteraan mereka.

Sampai saat ini, pemerintah belum memberikan tanggapan resmi terkait gugatan tersebut.

Laporan: Ariel Subarkah
Editor: Ghazali Rahman
Copyright @Banuaterkini 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev