Jagat maya tengah dihebohkan oleh pengunduran diri Budi Kurniawan, seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila), yang menyatakan mundur dari status Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Banuaterkini.com, LAMPUNG - Melalui unggahan di akun X pribadinya, @BangBudiKur, Rabu (27/11), Budi mengungkapkan kekecewaannya terhadap birokrasi kampus yang menurutnya terlalu kaku dan lebih mementingkan formalitas administrasi dibanding substansi akademik.
Keputusan ini dipicu oleh penolakan kampus atas permohonan perpanjangan tugas belajar Budi, yang tengah menempuh studi doktoral di Amerika Serikat.
Dalam unggahannya, ia menyindir kebijakan Unila yang memintanya kembali aktif mengajar, meskipun studinya baru berjalan tiga tahun, jauh dari standar penyelesaian program doktoral di luar negeri.
“Saya mengundurkan diri dari Unila. Disuruh pulang aktif mengajar padahal sedang berjuang S3 dan baru masuk tahun ke-4. Saya bukan Bahlil yang bisa lulus 1 tahun kuliah doktoral,” tulisnya, seperti dikutip dari Kumparan.com.
Masalah bermula dari surat resmi yang diterima Budi melalui Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Unila. Surat tersebut menyatakan bahwa perpanjangan tugas belajar tidak dapat disetujui karena melewati batas waktu pengajuan yang ditentukan, yaitu enam bulan sebelum masa tugas belajar berakhir.
Kampus berdalih mengikuti Permendikbudristek Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar bagi PNS.
Budi menilai alasan tersebut menunjukkan pendekatan birokrasi yang terlalu formalistis, tanpa mempertimbangkan manfaat jangka panjang dari penyelesaian studinya bagi institusi.
“Ini contoh nyata bagaimana kebijakan administrasi mengalahkan substansi pengembangan akademik. Regulasi kecil seperti ini justru menghambat kemajuan institusi,” kritiknya.
Resonansi Kritik di Dunia Akademik
Pengunduran diri ini memicu diskusi luas di media sosial, terutama di kalangan akademisi.
Banyak yang mendukung langkah Budi sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem birokrasi pendidikan yang dianggap tidak fleksibel dan tidak responsif terhadap kebutuhan pengembangan sumber daya manusia.
Budi, lulusan S2 Public Policy dari Australian National University, juga menyoroti pentingnya reformasi birokrasi di institusi pendidikan tinggi agar lebih berorientasi pada hasil jangka panjang daripada sekadar aturan formalitas.
Hingga kini, pihak Universitas Lampung belum memberikan tanggapan resmi terkait keputusan Budi Kurniawan maupun kritik yang dilayangkannya.
Sunyi dari pihak kampus ini semakin memperkuat pandangan publik bahwa masalah birokrasi di dunia pendidikan tinggi adalah isu laten yang perlu segera diatasi.
Kasus Budi Kurniawan bukan hanya tentang seorang dosen yang kecewa, tetapi juga cerminan masalah sistemik di dunia akademik Indonesia.
Ketika birokrasi lebih diprioritaskan daripada pengembangan kualitas sumber daya manusia, tidak mengherankan jika banyak talenta justru memilih meninggalkan institusi negeri demi visi dan misi pribadi yang lebih besar.
Apakah kasus ini akan menjadi momentum bagi institusi pendidikan tinggi untuk mereformasi sistem mereka? Atau hanya akan berlalu sebagai salah satu cerita viral yang hilang ditelan waktu?