Ketika dunia memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia pada 9 Desember 2024, Indonesia kembali dihempas kenyataan pahit, karena korupsi merajalela hingga ke sudut-sudut pemerintahan daerah. Seolah memberi pesan getir pada upaya pemberantasan korupsi, sejumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghiasi pemberitaan dalam beberapa bulan terakhir.
Oleh: M. S. Shiddiq
Drama ini tidak sekadar menguak praktik gelap para pejabat, tetapi juga memupus harapan masyarakat yang tengah berikhtiar memilih pemimpin bersih dalam Pilkada serentak.
Bayangkan, di Kalimantan Selatan, sang Gubernur yang biasa disapa Paman Birin terseret dalam pusaran kasus suap.
Tidak cukup sampai di situ, Bengkulu turut mempermalukan dirinya dengan gubernurnya masuk daftar OTT KPK, sementara Penjabat Wali Kota Pekanbaru mengikuti jejak serupa dengan tangan terborgol dalam upaya operasi bersih.
Ironisnya, skandal-skandal ini justru mencuat ketika euforia Pilkada sedang hangat-hangatnya. Janji kampanye yang berisi perubahan, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat kini terdengar bak lelucon basi.
Lingkaran Setan Politik dan Korupsi
Dalam perspektif komunikasi politik, korupsi bukan sekadar penyakit moral individu, melainkan produk sistemik dari kebijakan dan struktur politik yang korup.
Teori agenda-setting dalam komunikasi politik menggarisbawahi bagaimana isu-isu yang diberi sorotan oleh media dan aktor politik memengaruhi persepsi publik.
Hari Anti Korupsi Sedunia sejatinya menjadi momentum untuk membangun narasi pemberantasan korupsi. Namun, apa gunanya narasi ini jika fakta di lapangan menunjukkan realitas yang bertolak belakang?
Kasus OTT ini memperlihatkan pola klasik yaitu uang politik menjadi katalis lingkaran setan korupsi. Dalam Pilkada serentak tahun ini, politik uang menjadi rahasia umum.
Para kandidat berlomba-lomba membeli suara demi merebut kursi kekuasaan. Uang dari praktik suap dan korupsi selama menjabat menjadi bahan bakar untuk siklus berikutnya.
Tidak peduli seberapa banyak Hari Anti Korupsi dirayakan, selagi politik uang menjadi norma, korupsi akan terus tumbuh subur.
Harapan atau Tragedi
Pilkada sejatinya merupakan panggung rakyat untuk memilih pemimpin yang bersih, visioner, dan berpihak pada kepentingan publik.
Namun, harapan ini berubah menjadi tragedi ketika kontestasi politik dirusak oleh praktik transaksional. Apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang, bahkan sebelum menjabat, telah terkontaminasi korupsi?
Fenomena ini mengingatkan kita pada teori "banjir korupsi" (corruption flood theory), yang menyatakan bahwa korupsi di tingkat elite memicu perilaku serupa di level bawah.
Ketika seorang gubernur, wali kota, dan pejabat daerah terlibat dalam suap dan gratifikasi, aparatur di bawahnya akan merasa mendapat "izin sosial" untuk melakukan hal yang sama.
Bahkan, lebih buruk lagi, Pilkada dengan politik uang menciptakan "utang politik" yang harus dibayar setelah kandidat terpilih.
Bagaimana caranya? Dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Anggaran daerah yang seharusnya dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur justru digunakan untuk membayar balik "investor politik."
Berbenah
Apa yang terjadi di Kalsel, Bengkulu, dan Pekanbaru adalah alarm keras bahwa bangsa ini membutuhkan langkah tegas dan revolusioner.
KPK, yang kini berada di bawah bayang-bayang pelemahan kewenangan, tetap menjadi harapan meski terbatas. Namun, tidak cukup hanya mengandalkan lembaga antirasuah. Sistem politik harus direformasi secara menyeluruh.
Pilkada harus didesain ulang dengan mekanisme yang lebih transparan dan berintegritas.
Sistem pemilu berbasis teknologi, pengawasan ketat terhadap dana kampanye, dan sanksi keras terhadap politik uang adalah beberapa langkah yang bisa diambil.
Namun, reformasi ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada komitmen kolektif dari seluruh elemen masyarakat untuk menolak budaya korupsi.
Retorika vs Realitas
Merayakan Hari Anti Korupsi Sedunia di tengah tsunami korupsi yang melanda negeri ini seperti memberi tepuk tangan meriah pada aktor buruk di panggung yang rusak. Kita terjebak dalam retorika tanpa aksi nyata, dalam peringatan simbolis tanpa substansi.
Pertanyaannya adalah: apakah bangsa ini benar-benar ingin keluar dari lingkaran korupsi?
Jika iya, maka tidak ada ruang untuk kompromi terhadap praktik politik uang dan pejabat kotor. Karena jika kita terus membiarkan, bukan hanya para koruptor yang merampas hak rakyat, tetapi kita juga yang secara kolektif menggadaikan masa depan negeri ini.
Selamat Hari Anti Korupsi Sedunia. Semoga peringatan ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan pengingat keras bahwa perang melawan korupsi adalah jihad tanpa akhir. Dan ya, selamat menikmati tontonan OTT berikutnya!
Banjarmasin, 09 Desember 2024
Pemimpin Redaksi