Seperti yang dijelaskan dalam berbagai diskursus, Pilkada adalah manifestasi nilai-nilai Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya tercermin dalam kejujuran dan integritas proses. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menuntut setiap aktor politik menghormati hak individu, baik sebagai pemilih maupun calon. Persatuan Indonesia adalah tanggung jawab semua pihak untuk menjaga harmoni sosial selama dan setelah Pilkada.
Oleh: Ahmad Gafuri, SH., MH *)
Pilkada serentak 27 November 2024 menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Di Kalimantan Selatan (Kalsel), seperti di daerah lain, Pilkada tidak hanya menjadi sarana memilih pemimpin, tetapi juga refleksi sejauh mana demokrasi telah tumbuh sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Namun, sejumlah fenomena yang terjadi justru menimbulkan tanda tanya besar tentang arah perkembangan demokrasi di wilayah ini.
Kotak Kosong: Demokrasi yang Kehilangan Pilihan
Fenomena kotak kosong kembali menjadi perdebatan di beberapa daerah di Kalsel. Dalam konsep demokrasi, rakyat harus memiliki pilihan yang kompetitif. Namun, ketika yang dihadirkan adalah seorang calon tunggal melawan kotak kosong, apa yang tersisa dari semangat kompetisi sehat yang diusung demokrasi?
Kotak kosong sering kali muncul bukan karena rakyat tidak ingin bersaing, tetapi karena proses politik telah mengunci akses calon potensial lainnya. Calon tunggal yang menghadapi kotak kosong sering kali lahir dari koalisi besar partai yang menyapu bersih dukungan politik lokal, menyisakan rakyat hanya dengan ilusi memilih. Di sini, prinsip "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan" menjadi sekadar jargon.
Namun, kotak kosong memiliki sisi paradoks. Bagi rakyat yang tidak puas dengan calon tunggal, ini adalah mekanisme perlawanan untuk menolak dominasi politik. Akan tetapi, haruskah rakyat selalu berada dalam posisi menolak, bukan memilih calon alternatif yang benar-benar mereka yakini?
Demokrasi yang Tersandung Administrasi
Kasus pembatalan pencalonan kandidat Walikota Banjarbaru adalah ironi lain dalam perjalanan demokrasi lokal di Kalsel. Bagaimana proses panjang pencalonan yang telah memenuhi berbagai prosedur bisa berakhir dengan pembatalan di detik terakhir? Apakah ini murni soal teknis administratif, atau ada permainan politik yang lebih besar di balik layar?