Home » Opini

Unjuk Rasa Mahasiswa Aceh dan Tragedi Pengusiran Pengungsi Rohingya; Sebuah Refleksi

Banuaterkini.com - Sabtu, 30 Desember 2023 | 15:50 WIB

Post View : 143

Ilustrasi Para pengungsi Rohingya. Foto: BANUATERKINI/detikcom.

Oleh: Mas'udah Muyassar*

Gelombang unjuk rasa yang berbuntut upaya pengusiran para pengungsi Rohingya oleh para mahasiswa Aceh menyisakan trauma dan ketakutan bagi korban.

RABU 27 Desember lalu, sebuah episode pilu terjadi di Aceh. Saat itu ratusan mahasiswa dari beberapa kampus termasuk Universitas Al Washliyah, Universitas Abulyatama, dan Bina Bangsa Getsempena, melakukan aksi pengusiran paksa terhadap pengungsi Rohingya.

Peristiwa yang berlangsung di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) dan berakhir di Kantor Kementeterian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Aceh.

Pengungsi Rohingya, yang berada hanya sekitar 40 meter dari lokasi aksi, terjebak dalam suasana tegang dan takut saat massa mahasiswa, yang awalnya berkumpul untuk berdemonstrasi, secara tiba-tiba melakukan penyerangan ke tempat penampungan mereka.

Situasi semakin memburuk ketika tindakan kekerasan mulai terjadi, termasuk penarikan paksa, lemparan botol air mineral, dan tindakan merusak barang-barang pengungsi. Pengungsi, yang kebanyakan adalah kaum perempuan dan anak-anak, hanya bisa menangis dan memohon belas kasihan.

Menurut data dari Human Rights Watch, pengungsi Rohingya telah mengalami serangkaian kekerasan dan diskriminasi di berbagai tempat, termasuk di negara asal mereka, Myanmar.

Badan PBB yang menangani pengungsi, UNHCR, menyerukan agar pihak berwenang menjamin keselamatan para pengungsi Rohingnya yang mendarat di Aceh dalam gelombang kedatangan mereka baru-baru ini. Tercatat jumlah mereka sebanyak1.608 orang.

Di Aceh, ini bukan kali pertama mereka menghadapi penolakan dari masyarakat lokal, namun insiden ini menandai eskalasi yang signifikan dalam bentuk kekerasan dan ketakutan yang mereka alami.

Petugas kepolisian dan Satpol PP yang berusaha mengendalikan massa yang jumlahnya mencapai sekitar 500 orang, gagal mencegah pengungsi Rohingya dipaksa keluar dari tempat penampungan. Mereka kemudian diangkut ke kantor Kemenkumham Aceh, yang berjarak sekitar satu kilometer dari BMA.

Alasan penolakan yang dinyatakan oleh mahasiswa adalah perilaku buruk yang diduga dilakukan oleh pengungsi Rohingya. Muhammad Khalis, Korlap aksi dari Universitas Abulyatama, menegaskan dukungannya terhadap tuntutan masyarakat untuk pemindahan atau pemulangan pengungsi.

Ia menyebutkan bahwa awalnya masyarakat Aceh menerima pengungsi ini atas dasar kemanusiaan, namun situasi berubah ketika muncul kekhawatiran bahwa pengungsi tersebut lebih banyak mencari pekerjaan dan terlibat dalam kasus penyelundupan manusia.

Para mahasiswa berbagai kampus di Aceh melakukan demo dan pengusiran kepada pengungsi Rohingya. Foto: BANUATERKINI/detikcom.

Peristiwa ini membuka diskusi yang lebih luas tentang bagaimana masyarakat Aceh, yang dikenal dengan keramahannya dan sejarah panjang dalam menerima pengungsi, sekarang menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan pengungsi Rohingya.

Kondisi ini juga menyoroti permasalahan yang lebih besar terkait dengan penanganan pengungsi di tingkat nasional dan internasional, termasuk isu-isu seperti hak asasi manusia, keamanan, dan interaksi sosial antara pengungsi dan masyarakat lokal.

Peristiwa pengusiran pengungsi Rohingya tersebut menurut SUAKA--aktivis LSM pemerhati pengungsi--tidak bisa dilepaskan dari dugaan kampanye negatif di media sosial berisi konten-konten yang menjelek-jelekkan pengungsi Rohingya.

Melalui agitasi dan propaganda anti-pengungsi Rohingya, masyarakat menjadi terhasut dan akhirnya berwujud pada pengusiran terhadap pengungsi, seperti yang terjadi di Aceh kemarin. Penyebar konten media sosial anti-pengungsi Rohingya harus diusut oleh aparat penegak hukum.

Tindakan sewenang-wenang terhadap pengungsi ini bukan hanya merupakan kejadian terisolasi, namun sangat dipengaruhi oleh kampanye negatif bermuatan diskriminasi rasial kepada pengungsi di media sosial, termasuk di dalamnya penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian.

Kampanye ini tidak hanya menargetkan pengungsi Rohingya, tetapi juga otoritas, komunitas lokal, dan pekerja kemanusiaan yang dapat menumbuhkan kebencian dan tindakan kekerasan secara massal.

"Dalam hal ini, SUAKA juga mendesak aparat penegak hukum mengusut dugaan tindak pidana ujaran kebencian dan diskriminasi rasial terhadap pengungsi Rohingya di ruang virtual, khususnya melalui media sosial," tulis SUAKA.

Apapun pemantik peristiwa pengusiran yang menyebabkan banyaknya kaum perempuan dan anak-anak korban konflik Rohingya, mesti ditangan secara cepat oleh Negara. Agar, tidak terjadi akumulasi kebencian dan trauma berkepanjangan di kalangan pengungsi. Semoga bisa cepat diatasi. Amin

*Mas'udah Muyassar, adalah Mahasiswa Semester V,  Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev