Tagline Merdeka Belajar semestinya menjadi pintu pembebasan dunia pendidikan Indonesia dari jerat sistem lama yang sentralistik, usang, dan gagal melahirkan insan merdeka. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini justru menyeret pelajar, mahasiswa, dan pendidik masuk ke dalam sistem baru yang bersolek progresif, tetapi mengandung paradoks kolonialisme akademik.
Oleh: MS Shiddiq *)
Alih-alih membebaskan, sistem ini menciptakan ketergantungan baru, pada platform digital, kurikulum yang dikendalikan pusat, dan asesmen berbasis data yang justru menjauhkan esensi pendidikan: pembentukan karakter dan kemerdekaan berpikir.
Dalam pidato-pidato kebijakan, Kementerian Pendidikan menarasikan bahwa Kurikulum Merdeka adalah jawaban atas krisis pembelajaran pasca-pandemi. Namun, banyak guru di lapangan mengeluh tidak siap, minim pelatihan, dan mengalami tekanan administratif yang meningkat.
Mereka terjebak dalam beban pelaporan platform digital seperti Rapor Pendidikan, PMM, dan Asesmen Nasional, tanpa waktu yang cukup untuk fokus mendidik. Di sisi lain, siswa dipaksa mengejar profil pelajar Pancasila yang ditargetkan sistem, tetapi tanpa ruang untuk bertumbuh secara otentik sesuai minat dan bakatnya.
Ironisnya, kurikulum ini diklaim fleksibel, tetapi dalam implementasinya sangat kaku. Sekolah yang tak punya infrastruktur memadai dipaksa menerapkan pendekatan yang sebenarnya didesain untuk sekolah unggulan.
Ini menguatkan kritik Ivan Illich dalam Deschooling Society, bahwa sekolah modern sering menjadi alat legitimasi ketimpangan sosial, bukan sarana emansipasi.
Lebih jauh, penelitian dari SMERU (2022) menunjukkan bahwa kesenjangan mutu pendidikan antar daerah justru meningkat setelah implementasi Kurikulum Merdeka. Akses pada pelatihan guru dan literasi digital sangat timpang.
Visi Indonesia Emas 2045 yang dibanggakan pemerintah, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara maju dengan SDM unggul, akan tinggal mimpi jika sistem pendidikan terus seperti ini: eksklusif, teknokratis, dan menekan kebebasan pedagogis.
Kritik juga datang dari akademisi pendidikan seperti Darmaningtyas dan Doni Koesoema yang menyoroti bahwa reformasi pendidikan selama dua dekade terakhir terlalu sering berganti arah dan terjebak pada jargon.
Tidak ada konsistensi kebijakan jangka panjang, dan pendidikan masih terlalu Jakarta-sentris. Pendidikan kita lupa akar: membebaskan manusia untuk berpikir, mencipta, dan menjadi dirinya sendiri.
Yang terjadi saat ini justru penggandaan format lama dalam kemasan digital dan terminologi kekinian. Padahal, merdeka belajar seharusnya berarti melepas ketergantungan, menguatkan otonomi sekolah, memberi ruang pada guru berinovasi, serta membentuk pelajar yang tahan banting dalam realitas sosial.
Kini, wacana baru hadir dalam bentuk program Makan Bergizi Gratis yang disebut-sebut sebagai solusi perbaikan gizi pelajar. Namun, alih-alih menjadi intervensi yang strategis dan berbasis kebutuhan lokal, program ini justru menambah beban struktural bagi dunia pendidikan.
Sekolah dituntut menjadi pusat logistik baru, bukan pusat belajar. Guru dan kepala sekolah dikhawatirkan akan kembali dipaksa menjadi administrator makanan alih-alih pendidik.
Kebijakan ini tampak lebih sebagai alat pencitraan dan pemuas politik elektoral ketimbang solusi nyata atas krisis mutu dan akses pendidikan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Kementerian tengah menggulirkan wacana mengembalikan pola pembelajaran lama yang menekankan kembali pada model klasikal dan berbasis hafalan.
Wacana ini muncul tanpa kajian mendalam dan menyeluruh, dan menunjukkan betapa pendidikan kita kerap bergerak zig-zag mengikuti selera pemimpin, bukan hasil evaluasi jangka panjang. Ini jelas langkah mundur.
Jika pemerintah ingin serius dengan visi Merdeka Belajar, sudah saatnya belajar dari negara-negara yang berhasil membumikan filosofi tersebut secara konkret.
Finlandia, misalnya, menempatkan guru sebagai sentral reformasi, memberikan otonomi penuh dalam mengembangkan metode belajar tanpa tekanan standar ujian nasional. Kurikulum mereka menekankan keseimbangan antara akademik dan kehidupan, serta mendorong pembelajaran kontekstual, berbasis minat dan dialog.
Di Selandia Baru, pendekatan student agency diterapkan secara menyeluruh, di mana siswa didorong untuk merancang perjalanan belajarnya sendiri dengan bimbingan guru.
Negara-negara Skandinavia lain bahkan tidak mengenal sistem kompetisi ketat sejak dini, dan lebih menekankan pembelajaran kolaboratif, sosial, dan penuh empati, yang seharusnya menjadi inspirasi bagi kita, bukan justru malah ditinggalkan.
Momentum Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei semestinya menjadi titik balik. Bukan hanya seremoni nostalgia Ki Hajar Dewantara, tapi panggilan koreksi menyeluruh.
Pendidikan bukan proyek politik, bukan ladang uji coba. Ia adalah fondasi masa depan bangsa. Jika kesalahan yang sama terus diulang, maka generasi mendatang akan mewarisi sistem yang penuh ilusi kemerdekaan, tetapi sejatinya menjajah nalar.
Merdeka belajar tak bisa hidup dalam sistem yang menindas kebebasan berpikir. Kini saatnya mengembalikan pendidikan pada hakikatnya: membebaskan, bukan membebani.
*) Pemimpin Redaksi Banuaterkini.com, Dosen, Peneliti, Konsultan yang terus belajar.