Sumbangan Sekolah Bikin Resah, Komite SMKN 5 Buka Suara

Redaksi - Kamis, 17 Juli 2025 | 19:09 WIB

Post View : 37

ILUSTRASI: Proses belajar mengajar di salah satu ruang kelas SMKN 5 Banjarmasin. (BANUATERKINI/IDN Times Kaltim)

Suasana forum silaturahmi antara pihak SMKN 5 Banjarmasin dan orang tua siswa kelas XI yang digelar Rabu (16/07/2025), seketika berubah menjadi bahan perbincangan publik setelah muncul keberatan terkait praktik penggalangan dana yang diklaim sebagai “sumbangan sukarela”.

Banuaterkini.com, BANJARMASIN — Meskipun dibungkus dalam istilah yang terkesan ringan dan tidak memaksa, sejumlah orang tua siswa justru merasa sebaliknya, bahwa mereka sedang diperhadapkan pada sebuah kewajiban yang tidak diakui secara langsung, namun nyata dirasakan sebagai tekanan sosial.

Pertemuan yang diadakan atas nama koordinasi program sekolah tahun ajaran 2025/2026 itu disertai pembagian “Kartu Sumbangan Komite Sekolah” dan surat pernyataan kesanggupan mengisi nominal dana.

Seperti diberitakan Banuaterkini.com pada Rabu (17/07/2025), memang tidak ada angka yang ditetapkan dalam dokumen "kartu iuran" tersebut.

Namun suasana formal forum, penyampaian oleh pihak komite, dan distribusi dokumen tertulis membuat sebagian wali murid merasa bahwa kontribusi tersebut tidak sepenuhnya bersifat sukarela.

“Bagi sebagian besar wali murid, praktik ini menimbulkan tekanan moral dan psikologis,” ungkap salah satu orang tua yang meminta agar identitasnya dirahasiakan.

Ia menyebut bahwa ada kekhawatiran tersembunyi, jika tak ikut menyumbang, bisa saja berdampak pada perlakuan terhadap anaknya di sekolah.

Surat undangan silaturahmi dan penjelasan program SMKN 5 Banjarmasin. (BANUATERKINI/Istiemwa)

Penelusuran media ini juga menyebut bahwa siswa dari tingkat lain, kelas X dan XII, ikut mengalami permintaan serupa meskipun tidak dalam forum resmi.

Bahkan ada catatan dari orang tua bahwa sebelumnya siswa diminta urunan membeli kipas angin untuk kebutuhan kelas.

Kondisi ini semakin menimbulkan pertanyaan mendasar, jika sekolah negeri sudah menerima Dana BOS dan bantuan pemerintah lainnya, mengapa masih ada kekurangan fasilitas yang dibebankan kepada orang tua?

Praktik yang Berulang, Bukan Insidental

Kekhawatiran utama para orang tua terletak pada pola permintaan dana yang terkesan sistematis dan berulang.

Meski tak pernah diklaim sebagai iuran wajib, fakta bahwa formulir dibagikan secara kolektif dalam forum formal memperkuat kesan bahwa partisipasi ini tak sepenuhnya sukarela.

Regulasi sebenarnya sudah jelas. Permendikbud No. 75 Tahun 2016 dan Permendikbud No. 44 Tahun 2012 menyebut bahwa sumbangan di sekolah negeri hanya boleh dilakukan jika tidak mengikat, tidak ditentukan nominal dan waktu, serta tidak boleh berdampak pada pelayanan pendidikan.

Namun praktik di lapangan kerap kali memperlihatkan ambiguitas antara semangat sukarela dan tekanan kultural di lingkungan sekolah.

Pihak Sekolah Sebut itu Bukan Paksaan

Menanggapi kontroversi ini, Kepala SMKN 5 Banjarmasin, Syahrir, menjelaskan bahwa sumbangan tersebut murni inisiatif dari komite sekolah yang menjalankan perannya sesuai regulasi.

Ia memastikan tidak ada unsur pemaksaan dalam penyampaian sumbangan tersebut.

“Mungkin orang tua yang menyampaikan informasi ini terlambat datang saat penyampaian program sekolah,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (16/07/2025) malam.

Kepala SMKN 5 Banjarmasin, Syahrir. (BANUATERKINI/Banjarmasin Post)

Ia juga menjelaskan bahwa formulir isian disiapkan hanya sebagai alat bantu pencatatan.

“Bagi yang mau menyumbang sukarela silakan mengisi kartu yang disiapkan, dan bagi yang tidak mau juga tidak apa-apa. Itu bukan iuran wajib,” tegasnya.

Syahrir menyebut, pencatatan itu dilakukan semata untuk keperluan pertanggungjawaban administrasi.

Jika tidak dicatat, menurutnya, potensi salah tafsir atau dugaan penyelewengan bisa saja muncul.

Komite Sekolah Akui Hanya Menjalankan Tugas

Ketua Komite SMKN 5 Banjarmasin, Husaini, turut memberikan penjelasan atas kehebohan ini.

Ia menegaskan bahwa kegiatan tersebut berlangsung dengan persetujuan pihak sekolah, dan komite hanya menjalankan fungsinya sebagai jembatan komunikasi antara sekolah dan orang tua.

“Komite sekolah dalam melaksanakan salah satu tugas dan fungsinya sebagai mediator menjelaskan program yang disampaikan pihak sekolah. Dari program itu, diperlukan musyawarah antara komite dan orang tua untuk membantu menutup kekurangan anggaran dari Dana BOS,” jelasnya, kepada wartawan Banuaterkini.com, Kamis (17/07/2025).

Menurut Husaini, pembagian “Kartu Sumbangan” dilakukan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas atas dana yang disumbangkan oleh wali murid.

“Para orang tua mengisi pernyataan yang bervariasi sesuai kemampuan mereka. Kartu itu diisi sendiri oleh orang tua siswa, tanpa paksaan,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa komite bahkan menegaskan secara langsung kepada para orang tua agar tidak memaksakan diri menyumbang jika tidak mampu.

“Kami katakan, kalau tidak mampu menyumbang, jangan dipaksakan. Ini murni sukarela,” tegas Husaini.

Ia pun menyampaikan harapannya agar bisa bertemu langsung dengan orang tua yang keberatan agar dapat menjelaskan secara terbuka peran dan niat baik komite.

Keinginan Komite sekolah untuk bertemu dengan orang tua yang keberatan tampaknya tak akan bisa terwujud. 

"Jujur saja, kami khawatir kalau nanti ada perlakuan berbeda atau pemasalahan pada anak kami, akses belajar yang dipersulit. Takut saja kalau nanti pas lulus misalnya ijazah anak kami ditahan," ungkap orang tua siswa yang coba dihubungi.

Ungkapan yang sama juga disampaikan beberapa orang tua lain yang dihubungi media ini.

Masih Ada Gap Antara Regulasi dan Praktik

Meski penjelasan pihak sekolah dan komite menegaskan tidak ada unsur paksaan, kenyataan bahwa beberapa orang tua merasa terbebani menunjukkan adanya ketimpangan komunikasi dan persepsi.

Dalam dunia pendidikan, niat baik saja tidak cukup.

Jika praktik pengumpulan sumbangan tidak disertai transparansi menyeluruh, ruang musyawarah terbuka, serta pelaporan keuangan yang jelas dan mudah diakses, maka potensi kesalahpahaman akan terus muncul.

Yang dibutuhkan saat ini bukan hanya klarifikasi, melainkan pembenahan tata kelola partisipasi publik dalam pendidikan.

Sekolah negeri bukan tempat untuk eksperimen pembiayaan kolektif tanpa kerangka transparansi yang kuat.

Komite sekolah harus dilatih dan dipandu untuk tetap berada di koridor fungsi konsultatif, bukan sebagai unit penghimpun dana yang menambah beban keluarga peserta didik. 

Sekolah Negeri Harus Bebas dari Beban Tersembunyi

Prinsip dasar pendidikan negeri adalah keterjangkauan dan kesetaraan.

Ketika akses terhadap fasilitas dasar seperti ventilasi, alat belajar, atau kegiatan penunjang diserahkan kepada sumbangan dari orang tua, maka nilai inklusivitas dalam pendidikan mulai dipertaruhkan.

Wali murid tidak menolak membantu. Yang ditolak adalah rasa terpaksa yang dibungkus kata “sukarela”, dan sistem yang membebani tanpa kejelasan.

Pendidikan yang sehat lahir dari partisipasi yang jujur dan terbuka—bukan karena malu menolak, takut anaknya dikucilkan, atau bingung kepada siapa harus bertanya.

Laporan: Ahmad Kusairi
Editor: Ghazali Rahman
Copyright @Banuaterkini 2025
Baca Juga :  Bidik Mahasiswa Baru, UNUKASE Tawarkan Program Unggulan dan Pertukaran ASEAN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev