Brain Rot, Literasi Digital, dan Tantangan Keberagamaan di Era Digital

Redaksi - Selasa, 25 Maret 2025 | 21:40 WIB

Post View : 33

ILUSTRASI: Terjebak dalam dunia digital, kita dikelilingi informasi instan yang menghipnotis, namun semakin jauh dari pemahaman mendalam dan refleksi nyata. (BANUATERKINI @2025)

Kedua, polarisasi opini dan filter bubble. Media sosial membentuk echo chamber di mana kita hanya berinteraksi dengan informasi yang memperkuat bias kita saja. Hal ini membuat diskusi keagamaan yang sehat semakin sulit, karena setiap kelompok hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar.

Ketiga, hilangnya ruang refleksi dan kesabaran. Agama mengajarkan ketenangan, refleksi, dan pemikiran kritis. Namun, budaya digital cenderung membuat kita lebih impulsif, reaktif, dan kurang sabar dalam mendalami sesuatu.

Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Untuk menghadapi tantangan ini, saya menawarkan beberapa langkah yang bisa kita lakukan. Pertama, meningkatkan literasi digital. Literasi digital bukan hanya soal bisa mengakses informasi melalui gawai, tetapi juga kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis dan reflektif. Kita harus lebih selektif dalam menyerap informasi agar tidak mudah terjebak hoaks atau pemahaman agama yang dangkal.

Kedua, membiasakan membaca sumber asli. Jangan hanya mengandalkan kutipan media sosial. Luangkan waktu untuk membaca kitab suci, tafsir, dan kajian akademik yang lebih mendalam. Hal ini pun juga tetap harus melalui bimbingan kepada mereka yang lebih ahli sebelum menyimpulkan sesuatu.

Ketiga, menyeimbangkan kehidupan maya dan nyata. Dunia maya memang menawarkan akses luas ke berbagai informasi, tetapi jangan sampai menggantikan interaksi nyata dan refleksi spiritual kita. Luangkan waktu untuk berdiskusi langsung dengan komunitas, guru, atau ulama agar pemahaman kita lebih kaya.

Terakhir, menerapkan mindful digital consumption. Pilih dan kurasi dengan bijak akun-akun yang kita ikuti di media sosial. Pastikan kita hanya mengikuti akun yang memberikan edukasi terpercaya, mengajak berpikir kritis, dan mendorong refleksi mendalam.

Diskusi ini mengingatkan saya kembali bahwa agama tidak hanya membutuhkan keyakinan, tetapi juga pemahaman yang kritis dan reflektif. Jika kita ingin menghindari brain rot, kita harus belajar menyeimbangkan konsumsi informasi cepat (digital) dengan pemikiran mendalam (tradisional).

Terima kasih kepada panitia dan semua peserta yang telah menghadirkan ruang diskusi yang begitu berharga. Semoga kita semua semakin bijak dalam mengonsumsi informasi dan lebih dalam dalam memaknai kehidupan beragama di era digital ini.

*) Najmi Fuady, adalah Dosen Universitas NU Kalsel.

Halaman:
Baca Juga :  Haul Guru Sekumpul, Refleksi Spiritualitas dan Solidaritas Sosial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev