Laporan: Indra SN l Editor: Ghazali Rahman
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) meneguhkan sistem proporsional terbuka atau menolak permohonan para pemohon untuk sistem proporsional tertutup, merupakan kabar gembira bagi demokrasi di Indonesia.
Jakarta, Banuaterkini.com - Diketahui, Kamis (15/06/2023) MK telah membacakan putusan atas Perkara No. 114/PUU-XX/2022 tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terkait sistem pemilu.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, Kamis (15/06/2023).
Dikutip dari Parlementaria, anggota DPR RI Fadli Zon menilai meskipun banyak pihak awalnya sempat mengkhawatirkan independensi dan integritas MK terkait gugatan uji materiil sistem pemilu ini, namun keputusan MK tersebut mematahkan spekulasi yang menyebutkan bahwa MK bakal mendorong sistem pemilu proporsional tertutup.
“MK masih konsisten dengan yurisprudensi yang telah dibuatnya bahwa sistem dan teknis pelaksanaan pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilihan presiden, merupakan bagian dari open legal policy, alias ranah pembuat undang-undang. Dalam hal ini, kewenangan untuk memutuskan masalah tersebut merupakan kewenangan dari DPR dan Presiden,” ujar Fadli dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (15/06/2023).
Fadli menambahkan, MK telah menegaskan bahwa meskipun terdapat kekurangan dalam setiap sistem pemilu, perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak dan kebebasan berekspresi.
Sehingga, tegas dia, keputusan MK yang tidak mengabulkan permohonan perubahan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup, merupakan berita gembira bagi demokrasi di Indonesia, terutama membuka ruang partisipasi publik dalam pemilu untuk dipilih dan memilih.
“Ada beberapa alasan saya kira kenapa putusan MK terkait uji materi sistem pemilu ini pantas diapresiasi dan dipuji oleh publik,” jelas Politisi Fraksi Partai Gerindra ini, dikutip Banuaterkini.com, Jumat (16/06/2023).
Pertama, putusan ini lahir ketika indeks kepercayaan publik terhadap MK untuk pertama kalinya dalam sejarah berada di bawah Mahkamah Agung (MA).
Padahal, kita tahu, MK, dan juga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dua lembaga yang lahir sesudah proses Reformasi, biasanya selalu merajai survei kepercayaan publik.
Namun, lanjut dia, belakangan tingkat kepercayaan publik terhadap dua lembaga tadi terus merosot, di bawah lembaga penegakan hukum lainnya.
“Itu sebabnya, di tengah melemahnya tingkat kepercayaan publik, putusan MK yang tetap konsisten menjadikan sistem pemilu sebagai ranah open legal policy patut diapresiasi,” jelas Anggota Komisi I DPR RI tersebut.
Kedua, putusan MK ini mengukuhkan pandangan bahwa isu pilihan sistem pemilu, dalam hal ini proporsional terbuka ataupun tertutup, bukanlah termasuk isu konstitusional.
Sebab, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tak pernah mengatur tentang sistem pemilu, apakah bersifat proporsional terbuka atau tertutup.
“Penentuan sistem pemilu merupakan isu teknis, bukan isu konstitusional. Ini ranahnya para pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah, bukan ranahnya MK untuk ikut menentukan,” urai Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI ini.
Ketiga, ketika keputusan ini diambil, sebagian karena tahapan pemilu telah dimulai, dan proses administrasi kepemiluan juga sudah berjalan.
Jika sampai sistem pemilu diubah di tengah jalan, ini bisa menimbulkan kekacauan politik dan ketatanegaraan. Karena itu, ia menilai, patut disyukuri kekacauan tersebut tidak sampai terjadi.
“Jika sampai terjadi kekisruhan, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya. Itulah sejumlah alasan kenapa kita perlu memberi apresiasi terhadap MK.
Di luar hal-hal yang telah disinggung tadi, ia menambahkan, perlu sama-sama disadari bahwa sistem proporsional terbuka merupakan bagian dari hasil Reformasi yang dulu pernah diperjuangkan.
Jadi, sistem pemilu ini merupakan anak kandung Reformasi. Setiap upaya untuk menarik sistem pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup merupakan bentuk kemunduran terhadap Reformasi dan demokrasi.
Sejak Pemilu 2004, sistem pemilu di Indonesia secara umum memang sudah menganut sistem proporsional terbuka.
Hanya saja teknis pelaksanaannya sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019 lalu memang telah mengalami beberapa perubahan terkait metode dalam proses alokasi kursi.
Tetapi, seluruh perubahan metode tadi tetap berada dalam frame sistem pemilu proporsional terbuka.
“Jadi, tak benar kalau ada yang mengatakan MK pernah mengubah sistem pemilu menjelang Pemilu 2009 lalu, sehingga tidak masalah kalau MK kembali mengubah sistem menjelang Pemilu 2024 nanti. MK tak pernah mengubah sistem pemilu, karena sejak 2004 sistem pemilu kita telah menganut sistem proporsional terbuka,” tegas wakil rakyat dari Dapil Kabupaten Bogor tersebut.
Perlu digarisbawahi, ungkap Fadli, pada uji materiil tahun 2008 silam, semula UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur bahwa penentuan caleg terpilih adalah berdasarkan persyaratan pemenuhan perolehan suara 30 persen BPP (Bilangan Pembagi Pemilih), atau kuota harga kursi.
Oleh MK, Pasal itu dibatalkan melalui Putusan Perkara No. 22-24/PUU-VI/2008 menjadi sepenuhnya berdasarkan suara terbanyak.
Jadi, pada saat itu yang digugat ke MK adalah perubahan variabel penentuan caleg terpilih, bukan perubahan sistem pemilunya.
“Sekali lagi, kita semua pantas menyambut baik putusan MK yang tak mengabulkan gugatan perubahan sistem pemilu. Dengan putusan ini, kita berhadap MK bisa meraih kembali kepercayaan publik yang kemarin sempat merosot, dan tetap menjaga integritasnya sebagai salah satu lembaga simbol Reformasi dan penjaga konstitusi,” pungkasnya. (rdn)