Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seharusnya menjadi manifestasi hakikat demokrasi: sebuah ajang di mana rakyat secara langsung memilih pemimpin yang dianggap layak untuk mengemban amanah. Namun, hal ini tampaknya tidak terjadi dalam Pilkada Kota Banjarbaru tahun ini.
Oleh: MS Shiddiq*
Alih-alih memberikan ruang bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya secara bebas, proses pelaksanaan Pilkada justru mengarah pada upaya menggiring hasil yang "diatur" sedemikian rupa. Ironisnya, gelaran yang sejatinya menjadi "pesta demokrasi" berubah menjadi serangkaian skenario yang berakhir pada "penunjukan" pemimpin.
Kisruh ini bermula dari keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banjarbaru yang membatalkan pencalonan pasangan calon nomor 02, Aditya-Habib. Keputusan tersebut diambil setelah KPU mendapat rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalimantan Selatan.
Langkah ini tidak hanya menimbulkan tanda tanya besar, tetapi juga membuka ruang bagi publik untuk mempertanyakan objektivitas dan transparansi dalam proses verifikasi serta pengambilan keputusan.
Ketika pasangan calon 02 didepak dari kontestasi, harapan masyarakat Banjarbaru sempat bertumpu pada satu opsi terakhir: kotak kosong. Pilihan ini menjadi simbol perlawanan bagi mereka yang merasa tidak ada pasangan calon yang layak untuk dipilih atau menolak proses yang mereka anggap cacat.
Sayangnya, harapan ini turut pupus melalui keputusan KPU Nomor 1774 Tahun 2024. Keputusan tersebut secara efektif "mengamputasi" hak demokrasi masyarakat untuk memilih kotak kosong, menjadikan satu-satunya pilihan yang tersedia adalah pasangan calon tunggal yang tidak perlu bersaing untuk memenangkan kontestasi.
Mencederai Moral Demokrasi
Keputusan ini tidak hanya mencederai hak-hak demokrasi masyarakat Banjarbaru, tetapi juga menodai nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung dalam sebuah pemilihan umum.