Pilkada bukan sekadar soal memilih pemimpin, tetapi juga merupakan sarana untuk mengekspresikan kehendak rakyat, termasuk untuk tidak memilih jika tidak ada kandidat yang sesuai dengan aspirasi mereka. Menghilangkan opsi ini berarti mencabut kebebasan masyarakat dalam menentukan nasib kota mereka sendiri.
Banyak pihak, terutama aktivis pro-demokrasi, mengecam keras langkah-langkah ini. Mereka menilai bahwa rangkaian keputusan yang diambil baik oleh Bawaslu maupun KPU mencerminkan adanya rekayasa yang sistematis untuk mengamankan hasil tertentu.
Proses ini terkesan lebih sebagai "pengaturan" hasil dibandingkan memberikan ruang bagi kompetisi yang sehat. Demokrasi bukan hanya tentang prosedur, tetapi juga substansi, yaitu memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan pemimpinnya tanpa tekanan atau manipulasi.
Kotak Kosong Sebagai Simbol Demokrasi
Dalam banyak kasus di Indonesia, kotak kosong memiliki makna yang lebih dari sekadar pilihan teknis. Ia adalah simbol perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan dalam proses demokrasi.
Sebagai contoh, beberapa daerah yang pernah menggelar Pilkada dengan pasangan calon tunggal menunjukkan bahwa kotak kosong bisa menjadi alat masyarakat untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap calon yang ada. Kemenangan kotak kosong pun bukanlah sesuatu yang asing, meski jarang terjadi. Namun, di Banjarbaru, masyarakat tidak diberikan kesempatan itu. Mereka "dipaksa" untuk menerima calon yang ada tanpa opsi lain.
Keputusan KPU untuk menghilangkan kotak kosong dalam Pilkada Banjarbaru memperlihatkan bagaimana proses demokrasi dapat dibelokkan untuk kepentingan tertentu.
Ini menjadi preseden buruk yang bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu di masa depan. Jika praktik seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin demokrasi di Indonesia akan semakin tergerus, dan pemilu hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi.
Dari Pilihan ke Penunjukan
Dengan hanya satu pasangan calon yang tersisa, Pilkada Banjarbaru tahun ini kehilangan esensi sebagai ajang demokrasi. Apa yang tersisa hanyalah formalitas administratif, di mana masyarakat tidak memiliki pilihan nyata. Dalam situasi ini, lebih tepat jika gelaran 27 November mendatang disebut sebagai "penunjukan" wali kota daripada pemilihan.