Editor: Ghazali Rahman l Editor: DR MDQ Elbanjary
Ditengarai ada sejumlah kejanggalan dalam peristiwa baku tembak yang melibatkan dua anggota kepolisian di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun segera membentuk tim gabungan yang melibatkan unsur eksternal yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Jakarta, Banuaterkini.com - Tim gabungan khusus ini dipimpin oleh Wakil Kepala Kepolisian Negara (Wakapolri) Komjen Pol Gatot Eddy Pramono. Tim tersebut juga diisi sejumlah personel Polri lainnya yakni Irwasum Polri Komjen Pol Agung Budi Maryoto, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Agus Andrianto, Kabaintelkam Polri Komjen Ahmad Dofiri, serta Asisten Kapolri bidang SDM (As SDM) Irjen Wahyu Widada.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berharap penanganan kasus ini dilakukan secara transparan dan objektif. Ia juga ingin masalah yang menyangkut anggotanya itu bisa diungkap secara terang.
Menurut Jenderal Listyo mengatakan, tim gabungan akan memberikan rekomendasi untuk melengkapi proses penyelidikan dan penyidikan. Rekomendasi itu, kata dia, tidak tertutup pada usulan evaluasi terhadap pengamanan rumah jajaran Polri hingga soal penonaktifan Irjen Ferdy Sambo.
"Dan yakinlah tim gabungan ini adalah tim profesional,” kata Listyo di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (12/07/22). Menanti titik terang Langkah Kapolri membentuk tim investigasi kasus baku tembak antarpolisi ini diapresiasi sejumlah pihak.
Menjadi sorotan banyak pihak, peristiwa maut yang menewaskan Brigadir Nopryansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J itu dinilai banyak kejanggalan.
Sejumlah Kejanggalan
Versi polisi Kejadian bermula pada Jumat (08/07/22) sore di kediaman Irjen Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan pada Senin (11/07/22) siang, menerangkan awalnya Brigadir J masuk ke kediaman Ferdy Sambo.
Diceritakan Brigadir J disebut melakukan pelecehan pada Istri Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Menyaksikan itu, seorang anggota polisi yang sedang menjaga rumah dinas tersebut, yakni Bharada E, menegur Brigadir J. Namun, menurut Ramadhan, Brigadir J mengacungkan senjata dan melakukan penembakan ke arah Bharada E.
Bharada E berusaha menghindar dan membalas tembakan. Keduanya lantas terlibat baku tembak hingga mengakibatkan Brigadir J meninggal dunia.
Berbeda dari kronologi sebelumnya, pada Senin (11/07/22) malam, polisi kembali menyampaikan kronologi peristiwa ini. Ramadhan kembali mengungkapkan, bahwa peristiwa dipicu saat Brigadir J yang melakukan pelecehan terhadap istri Irjen Ferdy Sambo di kediaman Ferdy. Brigadir J juga disebut menodongkan pistol ke kepala istri Ferdy di dalam kamar hingga membuatnya berteriak.
Brigadir J yang panik lantas keluar kamar. Mendengar teriakan itu, Bharada E yang ada di lantai atas bertanya ke Brigadir J. Namun Brigadir J malah melakukan penembakan terhadapnya. Dari situlah keduanya terlibat baku tembak hingga Brigadir J tewas terkena tembakan. Sementara, Bharada E selamat dan tak mengalami luka tembak.
“Itu benar melakukan pelecehan dan menodongkan senjata dengan pistol ke kepala istri Kadiv Propam itu benar,” kata Ramadhan seperti dikutip Kompas.com, Kamis (14/07/22).
Belakangan, Polri mengungkap bahwa Brigadir J merupakan personel Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang diperbantukan di Propam sebagai sopir Irjen Ferdy Sambo. Sedangkan Bharada E adalah anggota Brimob yang diperbantukan sebagai asisten pengawal pribadi Ferdy.
Sejumlah kejanggalan Kasus ini menarik perhatian masyarakat luas. Misalnya, pengungkapan insiden yang disampaikan Polri 3 hari sejak peristiwa terjadi. Baku tembak itu berlangsung pada Jumat (08/07/22), sedangkan Polri membeberkannya ke publik pada Senin (11/07/22). Ini dirasakan tak lazim.
Kejanggalan lainnya, adalah ditemukannya sejumlah luka sayatan di jasad Brigadir J. Luka sayatan itu diungkap oleh keluarga setelah mendapati jenazah Brigadir J dipulangkan ke Jambi.
Menurut penuturan keluarga, Brigadir J juga disebut mengalami luka senjata tajam di bagian mata, hidung, mulut, dan kakinya. Bahkan 2 ruas jari Brigadir J dilaporkan putus.
Rohani Simanjuntak, salah seorang kerabat dekat Brigadir J mengungkapkan, luka tembakan di tubuh keponakannya terlihat lebih dari satu. Luka itu tersebar di dada, tangan, dan leher.
Saat jenazah tiba di rumah duka pada Sabtu (09/07/22), dikabarkan keluarga juga awalnya tidak diperbolehkan melihat kondisi jasad Brigadir J. Namun, sang ibu bersikukuh melihat kondisi anaknya sebelum dimakamkan. Saat itulah, keluarga melihat tubuh korban penuh luka.
Hal janggal lain dalam peristiwa ini ialah matinya CCTV di seluruh bagian rumah karena decoder-nya rusak.
Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai, pembentukan tim investigasi merupakan langkah awal yang baik untuk mengungkap kebenaran mengingat banyaknya kejanggalan dalam kasus ini.
Namun demikian, Bambang mengingatkan, harus dipastikan bahwa pengusutan kasus ini dilakukan secara transparan.
"Kita berharap transparansi dan akuntabilitas TPF (tim pencari fakta) ini harus benar-benar dijaga. Jangan sampai TPF ini hanya sekadar alat stempel untuk melegitimasi kejanggalan-kejanggalan yang disampaikan Polri sebelumnya," kata Bambang seperti dikutip Kompas.com, Rabu (13/06/22).
Bambang berpendapat, optimisme atas penyelidikan kasus ini tetap harus dibangun. Apalagi, tim investigasi melibatkan pihak-pihak di luar Polri seperti Komnas HAM dan Kompolnas. Masuknya Komnas HAM ke dalam tim menjadi harapan besar ditemukannya fakta-fakta yang masih tersembunyi dalam kasus ini.
Dikatakan Bambang, tim investigasi juga seharusnya melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ini penting untuk melindungi sejumlah saksi kunci seperti istri Irjen Ferdy Sambo dan Bharada E.
"Pendampingan hukum pada mereka ini penting karena kasus ini menempatkan mereka pada posisi yang berhadapan dengan lembaga penegak hukum Polri," imbuh Bambang.
"Posisi tersebut rentan mendapat tekanan maupun intimidasi untuk mempengaruhi peyelidikan," tuturnya.
Seiring dengan pembentukan tim investigasi, lanjut Bambang, Kapolri juga semestinya menonaktifkan Irjen Ferdy Sambo. Langkah ini demi menjaga objektifitas Divisi Propam Polri mengingat kasus ini melibatkan 3 orang di lingkungan terdekat Ferdy.
"Sekaligus menjaga agar tak ada bias maupun konflik kepentingan dalam penyelidikan," kata Bambang.
Bambang juga menyampaikan sejumlah spekulasi yang juga harus dijawab oleh TPF nanti, yaitu bagaimana jika sebenarnya Bharada E bukan penembak Brigadir J dan sekedar aktor pengganti saja. Saat ini, kronologi yang beredar hanya berdasar pada keterangan satu pihak.
Oleh karenanya, pengusutan kasus ini harus dipastikan kebenarannya. "Dan itu harus bisa dijelaskan dengan bukti-bukti yang masuk akal. Dan masyarakat kita semua juga bisa berpikir, apakah yang disampaikan Polri masuk akal atau tidak," pungkas Bambang.