Contoh serupa pernah terjadi di Pilkada Makassar 2018, ketika kandidat unggulan Mohammad Ramdhan Pomanto juga dicoret karena alasan hukum yang dianggap politis.
Alhasil, kontestasi menjadi lebih mudah bagi lawan politiknya, yang tak lagi berhadapan dengan kompetitor kuat. Kasus ini memberikan pelajaran bahwa panggung politik bisa diatur sesuai keinginan pemain yang punya pengaruh, yang dengan lihai memainkan aturan demi hasil yang diinginkan.
Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar: siapa yang benar-benar diuntungkan dari strategi "main" aturan ini? Tentu saja, jawabannya adalah para pesaing politik mereka.
Tanpa adanya Aditya-Habib, para kandidat lain bisa melaju dengan lebih tenang. Ini adalah kemenangan yang terasa lebih "dibantu" oleh situasi daripada murni atas dasar persaingan. Dalam dunia politik praktis, kita tahu bahwa para pesaing pasti merasa lega ketika lawan kuat mereka dikeluarkan dari panggung.
Dalam pandangan generasi muda, drama politik ini memberi pelajaran pahit bahwa aturan tidak selalu diterapkan untuk menjaga integritas dan transparansi, tetapi bisa jadi untuk memuluskan jalan bagi yang punya kepentingan.
Demokrasi yang sehat seharusnya memperlakukan aturan sebagai penyeimbang, bukan alat yang fleksibel yang bisa diarahkan sesuai tujuan. Dengan mengamati kejadian seperti ini, generasi milenial dan Gen Z dapat belajar bahwa di panggung politik, integritas bisa dijadikan bahan tawar-menawar dalam permainan kekuasaan.
Bagi milenial dan Gen Z yang mulai memerhatikan politik lokal, insiden ini menawarkan "pendidikan politik" yang tajam dan sarkastik. Proses pencalonan, alih-alih dipandang sebagai kompetisi untuk menemukan kandidat terbaik, justru mencerminkan bahwa siapa yang bertahan sering kali lebih penting daripada siapa yang memiliki visi unggul.
Pendidikan politik generasi muda seharusnya mengajarkan bahwa panggung politik adalah arena untuk menampilkan gagasan dan integritas, tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa di balik layar, "aturan" bisa menjadi strategi bagi mereka yang lebih lihai. Tragedi seperti ini membuka mata generasi muda bahwa idealisme di dalam politik sering kali lebih rentan dibandingkan kalkulasi pragmatis.
Drama ini juga mengajarkan generasi muda tentang bagaimana politik modern di Indonesia masih dipenuhi oleh manipulasi aturan yang menyajikan narasi-narasi bak "cerita indah" untuk publik.
Teori komunikasi politik menegaskan bahwa penguasa atau aktor politik sering kali merangkai narasi yang dapat mempengaruhi persepsi publik. Publik seakan diajak melihat peristiwa ini sebagai hasil dari proses hukum yang adil, padahal kenyataannya bisa saja aturan tersebut sudah diarahkan.