Kalimantan Selatan (Kalsel) mencatat pertumbuhan ekonomi yang stabil di awal 2025. Namun, di balik tren positif tersebut, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengalami tekanan signifikan.
Banuaterkini.com, BANJARAMASIN - Realisasi pendapatan negara dan daerah menunjukkan kontraksi yang cukup dalam, memicu kekhawatiran terkait keberlanjutan stimulus fiskal dan efektivitas kebijakan anggaran.
Menurut Kepala Kanwil DJPb Kalsel, Syafriadi, pertumbuhan ekonomi Kalsel pada triwulan IV 2024 mencapai 5,15% (yoy), lebih tinggi dibandingkan nasional yang sebesar 5,05%.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalsel tercatat Rp286,82 triliun (ADHB) atau Rp156,76 triliun (ADHK), dengan sektor pertambangan sebagai penyumbang utama (29,47%).
"Meskipun demikian, kinerja fiskal tidak sejalan dengan tren pertumbuhan ekonomi yang positif," ujar Syafriadi, dalam keterangannya yang diterima Banuaterkini.com, Minggu (09/03/2025).
Hingga Januari 2025, realisasi pendapatan APBN di Kalsel hanya mencapai Rp106,88 miliar atau 0,49% dari target Rp22,02 triliun.
Capaian ini mengalami kontraksi sebesar 91,25% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Penerimaan perpajakan menurun signifikan akibat meningkatnya restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang menyebabkan defisit penerimaan PPN sebesar Rp690,42 miliar (-534,79%).
Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Non-Migas juga turun 18,31% akibat perpindahan Wajib Pajak (WP) Cabang ke KPP tempat WP Pusat terdaftar.
Di sisi lain, penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mendominasi pendapatan negara di Kalsel dengan kontribusi 95%.
Namun, PNBP juga mengalami penurunan sebesar 61,38%, terutama dari sektor lelang, pendapatan aset negara, dan jasa layanan Badan Layanan Umum (BLU).
Pendapatan APBD Kalsel pada Januari 2025 hanya mencapai Rp1,47 triliun (3,52% dari target), terkontraksi hingga 70,61% dibandingkan tahun lalu.
Pendapatan transfer dari pusat masih menjadi sumber utama, mencakup 92% dari total pendapatan daerah.
Kota Banjarmasin mencatat realisasi tertinggi sebesar 8,1% dari target, sementara Kabupaten Tapin menjadi yang terendah.
Belanja daerah juga mengalami kontraksi signifikan. Realisasi belanja APBD hanya mencapai Rp497,92 miliar atau 1,05% dari pagu, turun 62,7% dibandingkan tahun lalu.
Penurunan terbesar terjadi pada belanja transfer, yang turun 97,2% akibat perubahan skema kebijakan opsen pajak.
Belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk infrastruktur, juga mengalami penurunan akibat kebijakan efisiensi belanja berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025.
Neraca perdagangan Kalsel masih mencatatkan surplus sebesar USD 807,43 juta pada Januari 2025.
Namun, angka ini menurun 27,67% dibandingkan bulan sebelumnya, menunjukkan perlambatan ekspor.
Sementara itu, di sektor fiskal daerah, penyaluran Dana Desa menjadi salah satu titik terang.
Hingga 31 Januari 2025, Dana Desa di tiga kabupaten, yaitu Barito Kuala, Banjar, dan Hulu Sungai Utara, berhasil disalurkan tercepat secara nasional.
Namun, secara keseluruhan, penyaluran Transfer ke Daerah (TKD) mengalami penurunan 32,66% dibandingkan tahun lalu.
Realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Kalsel hingga Januari 2025 mencapai Rp143,56 miliar, disalurkan kepada 3.021 debitur.
Namun, angka ini masih lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dengan penurunan 62,9%.
Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) juga mengalami hambatan signifikan.
Hingga akhir Januari 2025, hanya Rp80 juta yang disalurkan kepada empat debitur, turun 98,05% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Faktor utama yang menghambat penyaluran ini adalah kebijakan perbankan yang lebih selektif dalam memberikan kredit serta perlambatan aktivitas ekonomi di sektor UMKM.
Meskipun ekonomi Kalsel tumbuh stabil, tantangan fiskal masih membayangi.
Penurunan penerimaan pajak dan belanja daerah yang tertahan dapat berdampak pada efektivitas stimulus ekonomi di wilayah ini.
Jika kondisi ini berlanjut, pemerintah daerah dan pusat perlu mencari solusi untuk meningkatkan pendapatan serta mempercepat realisasi belanja guna mendorong pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.