"Mereka yang tak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, akan tergilas oleh perubahan itu sendiri." – Charles Darwin
Oleh: M. S. Shiddiq *)
Di era di mana semua bisa diselesaikan dengan satu sentuhan di layar, generasi muda Indonesia, terutama milenial dan Gen Z, menghadapi tantangan besar.
Mereka lahir di dunia yang terhubung secara digital, tapi juga sering kali disebut sebagai generasi yang "serba instan," kurang daya tahan, dan, lebih penting, kurang kompeten menghadapi persaingan global.
Namun, apakah semua ini sepenuhnya benar? Jika ya, apa yang harus dilakukan untuk mengubah narasi ini?
Transformasi digital dan inovasi dalam keberlanjutan mungkin menjadi kunci untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Di Indonesia, Generasi Z dan milenial kini membentuk lebih dari separuh populasi.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 53% angkatan kerja Indonesia berasal dari generasi ini.
Namun, laporan World Economic Forum (WEF) 2023 menunjukkan hal yang mengkhawatirkan: kemampuan tenaga kerja Indonesia menempati peringkat 45 dari 64 negara.
Sementara itu, studi oleh McKinsey (2023) mengidentifikasi bahwa generasi muda sering kali merasa terjebak dalam pola pikir instan, didukung oleh budaya aplikasi seperti TikTok dan Instagram.
Mereka terampil menggunakan teknologi, tetapi sering kali gagal menggunakannya untuk menciptakan nilai nyata.
Di sinilah transformasi digital, terutama dalam sektor perbankan, masuk.
Inovasi dan digitalisasi di bidang keuangan tidak hanya soal kemudahan transaksi, tetapi juga soal membangun kesadaran pentingnya perencanaan keuangan, investasi, dan keberlanjutan di kalangan generasi muda.
Bank Mandiri, misalnya, meluncurkan platform Livin’ yang dirancang untuk memudahkan manajemen keuangan personal.
Fitur-fitur seperti analisis pengeluaran, pengingat pembayaran tagihan, dan tabungan otomatis dirancang untuk membantu pengguna membangun kebiasaan finansial yang sehat.
Tapi tantangannya adalah bagaimana membuat mereka tertarik?
Generasi ini dibesarkan dengan permainan daring dan aplikasi yang menyenangkan. Maka, pendekatan edukasi keuangan juga perlu dikemas menarik.
Salah satu contoh adalah gamifikasi dalam aplikasi keuangan, seperti tantangan tabungan atau hadiah untuk investasi pertama.
Data Hootsuite (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 85% Gen Z Indonesia menghabiskan waktu mereka di media sosial.
Menggunakan figur publik yang mereka percayai—seperti influencer keuangan Fellexandro Ruby atau Ligwina Hananto, misalnya—dapat membantu menyampaikan pesan bahwa perbankan dan keberlanjutan itu penting.
Generasi muda adalah pemimpin masa depan, tetapi mereka hanya akan berhasil jika mampu menavigasi kompleksitas dunia yang berubah dengan cepat.
Transformasi digital memberikan alat, tetapi tidak akan cukup tanpa pembentukan nilai dan kompetensi.
Menurut laporan PwC (2023), perusahaan di Indonesia mulai mencari pemimpin muda yang tidak hanya melek teknologi tetapi juga memiliki kemampuan untuk memimpin perubahan.
Digitalisasi menjadi bagian penting dari pengembangan keterampilan ini.
Bank dan institusi keuangan lainnya dapat berperan dalam memberikan pelatihan langsung, seperti bootcamp atau pelatihan kepemimpinan berbasis teknologi.
Dalam survei yang dilakukan Deloitte (2022), 75% Gen Z menyatakan bahwa mereka ingin bekerja di perusahaan yang memiliki nilai keberlanjutan.
Bank Mandiri dan institusi lainnya dapat menggunakan ini sebagai peluang untuk membangun narasi tentang pentingnya keberlanjutan, baik dalam keputusan keuangan individu maupun dalam kepemimpinan.
Budaya swipe—dari memilih pasangan hingga belanja—telah membentuk generasi ini. Semuanya instan.
Tapi, pertanyaannya adalah: apakah generasi ini hanya akan berhenti di sana?
Teknologi dapat menjadi alat atau penghambat. Generasi muda harus memilih: apakah mereka hanya menjadi konsumen yang terus-menerus digerakkan oleh algoritma, atau mereka akan menjadi pemimpin yang mampu menciptakan perubahan menggunakan teknologi?
Edukasi Sejak Awal: Pemerintah, perbankan, dan institusi pendidikan harus berkolaborasi untuk memperkenalkan pendidikan finansial dan keberlanjutan sejak sekolah menengah.
Menghubungkan Nilai Pribadi dengan Teknologi: Kampanye seperti "Investasi Hijau untuk Masa Depan" dapat membantu menghubungkan tindakan pribadi dengan dampaknya pada lingkungan.
Memanfaatkan Teknologi untuk Kompetensi Global: Generasi muda perlu dilatih untuk menggunakan teknologi secara produktif—dari membangun portofolio digital hingga belajar coding dan analitik data.
Generasi milenial dan Gen Z Indonesia adalah aset besar, tetapi hanya jika mereka diperlengkapi dengan keterampilan dan nilai yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Inovasi dan digitalisasi adalah peluang, bukan ancaman—tapi hanya bagi mereka yang mau memanfaatkannya.
Jika generasi ini tidak berubah, maka bukan dunia yang mereka pimpin, melainkan algoritma yang memimpin mereka.
Pilihan ada di tangan mereka: apakah mereka hanya swipe, atau survive dalam dunia yang terus berubah?
Jakarta, 14 Desember 2024
Pemimpin Redaksi