Jakarta, Bandung, dan Semarang pernah mengalami hal yang sama ketika mahasiswa turun ke jalan untuk menolak RUU Pilkada pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Di Jakarta, tahun 2020, bentrokan terjadi di sekitar gedung DPR/MPR, di mana mahasiswa dari berbagai universitas dipukul mundur oleh aparat menggunakan water cannon dan gas air mata. Sejumlah mahasiswa dilaporkan mengalami luka-luka dan ditangkap.
Di Bandung, sehari sebelumnya atau bersamaan dengan aksi di depan Gedung DPR/MPR Jakarta, aksi mahasiswa yang berlangsung di depan Gedung Sate berakhir ricuh setelah aparat menggunakan kekerasan untuk membubarkan massa.
Insiden ini memicu kemarahan publik setelah video kekerasan tersebut beredar luas di media sosial, menunjukkan bagaimana mahasiswa dipukuli dan ditendang oleh aparat.
Begitu pula di Semarang, pada hari yang sama, aksi damai menolak RUU Pilkada di depan Gedung DPRD setempat juga berakhir dengan kekerasan. Mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan mengalami nasib serupa; beberapa di antaranya harus dirawat di rumah sakit akibat luka-luka yang mereka alami.
Peristiwa di Banjarmasin ini memperlihatkan bahwa upaya mahasiswa untuk menyuarakan pendapat mereka sering kali berakhir dengan kekerasan, seolah-olah aspirasi mereka tidak layak didengar.
Kasus-kasus ini menjadi pengingat bahwa kebebasan berpendapat, yang dijamin oleh konstitusi, masih harus diperjuangkan dengan risiko besar.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak berwenang terkait insiden di Banjarmasin. Namun, publik menanti keadilan bagi para korban yang terluka, baik secara fisik maupun mental, akibat tindakan represif ini.
Insiden kekerasan seperti ini mengingatkan kita akan pentingnya penegakan hak asasi manusia dan perlunya reformasi dalam penanganan aksi protes di Indonesia.