Pemilih tetap dapat menjatuhkan suara kepada pasangan calon meski salah satu calonnya meninggal dunia atau memiliki status hukum tersangka. “Dalam kasus seperti itu, suara pemilih tetap dianggap sah,” jelas Afifuddin.
Keputusan KPU ini menjadi sorotan tajam setelah Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Sabtu malam, 23 November 2024.
Rohidin diduga memanfaatkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Bengkulu untuk mendanai kampanye pencalonannya kembali di Pilkada 2024.
Dalam operasi tersebut, KPK menyita uang sekitar Rp 7 miliar dalam berbagai mata uang. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menyatakan bahwa Rohidin bersama dua pejabat lain, yakni Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri, dan ajudannya, Evriansyah alias Anca, telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ketiganya diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi yang terjadi pada periode anggaran 2018-2024.
Keputusan KPU ini memunculkan perdebatan di tengah masyarakat. Beberapa pihak mempertanyakan moralitas dan integritas pemilu jika tersangka atau bahkan terpidana tetap dilantik sebagai kepala daerah.
Namun, KPU berdalih bahwa pelaksanaan pemilu harus tunduk pada payung hukum yang berlaku, di mana proses hukum terhadap calon adalah domain aparat penegak hukum.
Kondisi ini menjadi refleksi penting dalam pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Bagaimana integritas calon kepala daerah tetap dijaga tanpa mencederai hak politik mereka?
Di sisi lain, publik berharap regulasi yang lebih tegas untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh calon kepala daerah yang tersandung kasus hukum.
Dengan gelaran Pilkada yang semakin dekat, masyarakat kini dihadapkan pada dilema besar: memilih pemimpin dengan rekam jejak yang bersih atau menerima aturan yang ada meski terasa kontroversial.