Penutupan TPA Basirih pada awal 2025 memicu krisis baru di Kota Banjarmasin. Sampah menumpuk di jalanan, warga mengeluh, dan pengacara senior Dr. H. Fauzan Ramon menyebut kondisi ini sebagai “bom waktu” yang bisa meledak kapan saja jika tak segera ditangani secara serius.
Banuaterkini.com, BANJARMASIN - Ia mendesak audit menyeluruh terhadap program dan anggaran pengelolaan sampah yang selama ini dinilai tidak transparan dan minim dampak.
Masalah Tak Lagi Tersembunyi
Krisis pengelolaan sampah di Banjarmasin mengemuka sejak penutupan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Basirih oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 1 Februari 2025.
Penutupan dilakukan karena TPA Basirih masih menggunakan metode open dumping, yang telah dilarang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Radar Banjarmasin, 2025).
Dampaknya, Pemko Banjarmasin terpaksa mengalihkan pengangkutan sampah ke TPA Regional Banjarbakula di Banjarbaru, berjarak lebih dari 30 kilometer dari pusat kota (ANTARA Kalsel, 2025).
Masalah muncul karena keterbatasan daya tampung dan jarak tempuh yang menghambat efektivitas distribusi.
Sampah pun menumpuk di Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan merambah ke jalanan.
Sampah Jadi Bom Waktu
Dalam sebuah acara halal bihalal di RM Soto Bang Amat kawasan Banua Anyar, Senin (07/04/2025), Ketua YLKI Kalsel, Fauzan Ramon menyampaikan keprihatinannya yang mendalam atas krisis yang terjadi.
“Masalah ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini bisa jadi bom waktu jika terus dibiarkan. Potensi pengolahan ada, tapi tidak dimanfaatkan maksimal,” ujarnya.
Fauzan juga mendesak audit terhadap program Bank Sampah yang pernah dijalankan Pemko di masa Wali Kota sebelumnya, Ibnu Sina.
Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Banjarmasin ini menilai, program tersebut tak menunjukkan hasil yang jelas.
“Bank sampah itu harus diaudit. Jangan sampai program hanya formalitas. Itu uang negara,” tegas Dosen Ilmu Hukum Pidana STIHSA Banjarmasin ini.
Warga Resah, Pemerintah Diuji
Keresahan serupa datang dari berbagai kalangan masyarakat. Uskiansyah, purnawirawan Polri dan mantan Kepala BNNK Banjarmasin, menyoroti lemahnya pengawasan di lapangan.
“Kalau sudah dilarang buang sampah di satu titik, harusnya ada Satpol PP yang berjaga. Kalau tidak, ya larangan itu cuma papan tulisan,” kritiknya.
Warga kawasan Sultan Adam bahkan menyebut bahwa limbah medis dan industri dibuang tanpa pengawasan ketat.
Mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dan kesehatan jangka panjangnya.
“Limbah medis itu lebih berbahaya dari sampah rumah tangga. Pemerintah harus serius soal K3,” ujar salah seorang warga.
Data dan Fakta Terkini
Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Banjarmasin, volume sampah harian di kota ini mencapai 600 hingga 650 ton per hari, dengan produksi rata-rata sekitar 0,7 kilogram per orang (DLH Kota Banjarmasin, Jejakrekam.com, 2024).
Sejak penutupan TPA Basirih, seluruh sampah dialihkan ke TPA Regional Banjarbakula.
Namun kapasitas maksimal tempat tersebut hanya 105 ton per hari (DLH Kota Banjarmasin, Kalsel Daily, 2025).
Kepala DLH, Alive Yoesfah Love, menyebut bahwa minimnya armada pengangkut dan kenaikan biaya operasional menjadi tantangan utama dalam mengangkut sampah ke lokasi yang begitu jauh (DLH Kota Banjarmasin, DutaTV, 2025).
Program budidaya maggot (BSF) pun baru mampu memproduksi sekitar 100 kg per siklus, jauh dari target 1.500 kg per siklus.
Solusi Warga, Dari Incinerator hingga Transparansi Dana
Warga dan aktivis lingkungan Banjarmasin menawarkan berbagai solusi konkret untuk mengatasi krisis ini.
Salah satunya adalah pembangunan incinerator di setiap kecamatan.
Haji Iwan, seorang pengusaha farmasi lokal, menyebut teknologi pembakar sampah ini sudah terbukti efektif di rumah sakit, terutama untuk membakar limbah medis menjadi abu.
“Kita bisa meniru kota seperti Semarang. Incinerator bisa menjadi solusi utama untuk sampah umum juga,” katanya.
Selain itu, warga mendorong sistem pemilahan sampah dari rumah, membedakan antara sampah basah, kering, dan berbahaya.
Ini dianggap sebagai langkah krusial agar sampah dapat diolah lebih efektif menjadi kompos, gas, atau bahkan energi alternatif.
Aktivis Pemuda Pancasila, Saprudin, juga mengkritik pengelolaan dana retribusi sampah yang dipungut lewat tagihan PDAM.
Dengan kritis ia menilai tidak ada transparansi penggunaan dana.
“Kalau bisa bangun air mancur Rp11 miliar, kenapa beli ekskavator buat sampah saja tak bisa? Aneh sekali. Ini harus diaudit,” tegasnya.
Menanti Langkah Nyata Pemimpin Baru
Kini, semua harapan tertuju pada kepemimpinan Wali Kota baru, H. M. Yamin.
Fauzan Ramon meminta agar program yang sudah ada dievaluasi total, dan penanganan sampah dijadikan agenda prioritas, bukan sekadar tanggung jawab dinas teknis.
“Jangan biarkan kota ini jadi tempat sampah raksasa. Kami butuh perubahan nyata, bukan sekadar janji,” pungkasnya.