IBG Darma Putra, seorang ahli kejiwaan, mendukung pandangan ini dengan menyoroti faktor gini ratio yang tinggi dan rendahnya IQ rata-rata masyarakat sebagai akar masalah.
“Saya mengusulkan agar gini ratio dan IQ masyarakat diperbaiki terlebih dahulu. Bila itu tercapai, Pilkada langsung bisa berjalan tanpa politik uang. Untuk sementara, Pilkada oleh DPRD dapat menjadi alternatif sambil mempersiapkan kemandirian dan kecerdasan warga,” jelasnya.
Pandangan serupa diungkapkan oleh Sukrowardi, yang menekankan perlunya reformasi dalam penyelenggaraan Pilkada.
Ia mengusulkan penggunaan teknologi digital untuk memangkas biaya penyelenggaraan dan mengurangi potensi kecurangan.
“Pilkada dengan sistem digital bisa menjadi solusi. Ini dapat memangkas banyak hal yang masih konvensional dan berbiaya tinggi,” ujarnya.
Murjani bahkan menyoroti peran Bawaslu yang dinilai tidak maksimal dan menyarankan agar pengawasan dikembalikan kepada masyarakat melalui lembaga independen.
Berry Nahdian Furqon menambahkan bahwa reformasi kepolisian adalah langkah strategis untuk membangun penegakan hukum yang kuat.
“Bila polisi bekerja independen, hukum akan tegak, dan demokrasi akan berjalan baik,” pungkasnya.
Diskusi ini memberikan kesimpulan bahwa demokrasi membutuhkan pembenahan di banyak aspek.
Mulai dari mental para pelaku politik, pembenahan institusi penyelenggara Pemilu, hingga reformasi hukum yang berfokus pada institusi penegak hukum.