"Dulu bagawi batu besi di Sabuhur Pelaihari mangirim ke Taiwan (Dulu sempat bekerja tambang batu besi dan sempat mengirim ke Taiwan," tuturnya.
Namun, ujarnya, pada tahun 2011 ada kebijakan tentang Minerba yang membatasi usaha tambang batu besi. Ketika perusahaan tempatnya bekerja terpaksa menghentikan operasinya, Mang Usup menghadapi kenyataan pahit. Tanpa pekerjaan dan penghasilan tetap, beban hidup semakin berat.
Dengan usia yang tak lagi muda, dan lima anak yang masih memerlukan biaya, Supiani menyadari bahwa ia harus mencari cara lain untuk menghidupi keluarganya.
Yayan, anak sulungnya yang kini berusia 30 tahun, mulai mencoba membantu, namun Supiani tahu bahwa ia tidak bisa sepenuhnya bergantung pada anak-anaknya. Andre, yang berusia 23 tahun, tengah merintis karirnya, sementara Nisa, 21 tahun, masih dalam masa kuliah.
Dua anak bungsunya, Adhaly (17 tahun) dan Zeenab (13 tahun), masih duduk di bangku sekolah dan sangat memerlukan dukungan finansial. Dengan tanggung jawab yang besar di pundaknya, Supiani tidak punya pilihan lain selain terus berjuang.
Di masa sulit itu, Supiani berfokus penuh pada warungnya. Setiap pagi, ia dan Setiadewi bangun dini hari untuk mempersiapkan nasi kuning dengan bumbu khas Banjar yang kaya rasa.
Anak-anak mereka juga ikut membantu di sela-sela kesibukan masing-masing. Yayan dan Andre membantu mempromosikan usaha ini, sementara Nisa kerap turun tangan saat libur kuliah.
Bahkan Adhaly dan Zeenab pun tak segan membantu membersihkan warung setelah pulang sekolah.
Kerja keras Supiani membuahkan hasil. Pelanggan mulai berdatangan, tertarik oleh kelezatan nasi kuning yang otentik dan penuh cita rasa.
Warung kecil yang dulu hanya sekadar untuk bertahan hidup kini telah menjadi sumber penghidupan yang stabil bagi keluarganya. Dengan ketulusan hati dan usaha yang tak kenal lelah, Supiani berhasil mengubah nasibnya.