KontraS menegaskan bahwa revisi RUU TNI dilakukan secara diam-diam, tanpa partisipasi publik yang memadai.
Hal ini memperkuat narasi bahwa pemerintah dan DPR cenderung menghindari perdebatan terbuka atas isu-isu strategis yang berkaitan dengan sektor keamanan.
Jika ditelaah lebih jauh, revisi RUU TNI seharusnya tidak hanya melibatkan internal DPR dan pemerintah, tetapi juga akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta publik luas.
Mekanisme partisipasi yang tidak jelas berpotensi menciptakan kebijakan yang jauh dari kepentingan demokrasi, sekaligus meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi legislatif.
Salah satu alasan utama penolakan terhadap revisi ini adalah dugaan upaya menghidupkan kembali konsep dwifungsi ABRI, yang sebelumnya telah dihapus dalam era reformasi.
Konsep ini memungkinkan TNI memiliki peran dalam bidang sipil di luar fungsi pertahanan negara.
KontraS dan kelompok sipil lainnya menilai bahwa langkah ini bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dan reformasi sektor keamanan.
Dalam keterangannya, Andri Yunus menekankan bahwa isi dari RUU tersebut tidak sejalan dengan upaya penghapusan dwifungsi militer.
Hal ini mengisyaratkan kekhawatiran bahwa revisi tersebut berpotensi mengembalikan peran militer dalam urusan non-pertahanan, sebuah langkah mundur dari cita-cita reformasi.
Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, membantah bahwa pembahasan dilakukan secara terburu-buru untuk segera disahkan.