Menurutnya, jika substansi sudah dianggap cukup, maka pengesahan bisa dilakukan kapan saja.
Namun, pernyataan ini justru semakin mengundang pertanyaan terkait urgensi dari revisi RUU tersebut dan apakah ada dorongan politik tertentu yang mendesak percepatan pengesahan.
Menariknya, Utut juga menyinggung bahwa KontraS menolak undangan DPR untuk berdialog karena merasa kehadiran mereka hanya akan menjadi legitimasi formalitas.
Ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan mendalam antara pemerintah dan kelompok sipil dalam hal pengambilan kebijakan.
Ketegangan ini memperlihatkan tantangan yang terus berulang dalam proses legislasi di Indonesia, yaitu keseimbangan antara transparansi dan efisiensi.
Pemerintah sering kali berdalih bahwa mekanisme tertutup dibutuhkan untuk mempercepat pengambilan keputusan, sementara kelompok sipil menuntut keterbukaan demi akuntabilitas kebijakan.
Tanpa transparansi, kepercayaan publik terhadap proses legislasi akan terus menurun, yang pada akhirnya dapat memperburuk krisis demokrasi di Indonesia.
Dengan meningkatnya tekanan dari masyarakat sipil, DPR dan pemerintah dihadapkan pada dilema besar, tetap melanjutkan pembahasan secara tertutup atau membuka ruang diskusi yang lebih luas demi menghindari krisis legitimasi di masa mendatang.
Keputusan yang diambil dalam revisi RUU TNI ini akan menjadi preseden penting bagi tata kelola demokrasi di Indonesia ke depan.