Menurut Bayu, para cawapres mengetahui kondisinya melalui informasi serta data-data yang di sampaikan berikut dampaknya yang juga sudah sangat terlihat dan dirasakan rakyat.
Kondisi dimaksud terkait ketimpangan penguasaan wilayah/lahan, konflik sosial, kerusakan lingkungan dan bencana ekologis. Sayangnya para cawapres tidak ada menyampaikan gagasan melalui program yang jelas dalam debat.
“Semuanya normatif dan tidak ada perbedaan dengan upaya atau kebijakan yang dijalankan pemerintah saat ini. Selain itu juga tidak berdampak apapun dalam menjawab masalah-masalah tadi,” tambah Bayu Herinata.
Hal lain yang paling parah disampaikan Bayu Herinata adalah kondisi darurat ekologis dan krisis iklim yang sudah sangat jelas dihadapi saat ini, baik oleh seluruh rakyat maupun kelompok rentan khususnya seperti masyarakat adat atau lokal dan nelayan. Tidak ada pembahasan yang disampaikan para paslon untuk merespon kondisi tersebut.
“Terkesan bahwa kondisi krisis ini masih tidak menjadi prioritas yang akan ditangani dalam waktu cepat oleh para calon pemimpin negeri ini kedepan. Semua masih berorientasi pada upaya mitigasi yang justru menjadi “solusi palsu” dengan hanya meneruskan praktek eksploitasi sumber daya alam yang akan semakin memperparah krisis ekologis yang terjadi di darat dan di laut,” tandasnya.
Sementara itu pembangunan IKN yang mencaplok wilayah administrasi Kalimantan Timur dinilai akan semakin menambah beban ekologis.
“Pembangunan IKN yang mencaplok wilayah Kaltim, kini telah didelienasi dari wilayah administrasi Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara berdasarkan Perda RTRW No 1 Tahun 2023, justru akan semakin menghimpit beban ekologis di Kalimantan Timur,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen.
Fathur Roziqin Fen mengingatkan bahwa terdapat 114 perijinan yang tumpang tindih di dalam wilayah delineasi IKN. Utamanya dalam izin usaha pertambangan, perkebunan dan kehutanan.
Lebih lanjut dikatakan Roziqin bahwa pembangunan IKN tidak berada di lahan kosong, melainkan sebanyak 52 desa atau kelurahan akan terdampak dalam pembangunan mega proyek IKN dan ini tersebar di antara konsesi sehingga berpotensi mengakibatkan kian meluasnya konflik agraria di wilayah delienasi.
“Klaim pemerintah bahwa pembangunan IKN tidak berada di areal masyarakat, namun faktanya himpitan konflik lanjutannya justru berkelindan di antara ratusan konsesi, baik industri kehutanan, perkebunan skala besar dan pertambangan batubara,” pungkasnya.
Editor: Ghazali Rahman