Jejak Penyebaran Faham LGBT Melalui Perpustakaan

Redaksi - Kamis, 20 Februari 2025 | 10:41 WIB

Post View : 36

ILUSTRASI: Aksi damai penolakan masyarakat terhadap perilaku LGBT. (BANUATERKINI)

Benarkah perpustakaan, yang selama ini kita kenal sebagai sumber ilmu dan pencerahan, kini juga menjadi alat untuk menyebarkan paham LGBT melalui aktivitas organisasi, program perpustakaan, dan upaya intelektual yang bertujuan mengubah persepsi publik? 

Oleh: Faisal Syarifudin

PRESIDEN Amerika Serikat ke-47, Donald Trump yang dilantik 20 Januari 2025 mengumumkan bahwa administrasi pemerintahannya hanya mengakui dua identitas gender. Itu berarti dokumen-dokumen resmi hanya merujuk pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan komunitas lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) akan hilangnya pengakuan identitas gender mereka. Selain itu, mereka juga khawatir menghadapi ketidakpastian hukum dan diskriminasi akibat kebijakan pemerintahan yang baru.

Meskipun ada kontroversi, sebenarnya keberadaan kelompok LGBT terlihat nyata di tengah masyarakat Amerika dan bahkan mendapat dukungan dari pemerintah. Sebagai bukti, pernikahan sesama jenis telah disahkan secara hukum, dan pada paspor boleh dituliskan tanda “X” untuk identitas selain laki-laki dan perempuan.

Apa yang mereka capai itu tidak terlepas dari peran organisasi, dukungan lembaga, dan upaya intelektual yang telah berlangsung lama. Berbagai usaha tersebut turut melibatkan perpustakaan.

Umumnya kita mengenal perpustakaan sebagai tempat membaca buku, majalah, dan surat kabar. Biasanya perpustakaan adalah tempat yang aman, nyaman, dan tanpa diskriminasi. Di negeri Paman Sam itu, sejumlah perpustakaan menjadi pendukung penyebaran ideologi LGBT.

Peran Organisasi

Kita telusuri program dan aktivitas organisasi perpustakaan dalam mengadvokasi kelompok LGBT. Organisasi pustakawan di sana, ALA, menyatakan bahwa semua perpustakaan adalah forum untuk informasi dan gagasan, serta menyediakan akses informasi bagi semua orang. Lalu, ALA menegaskan dukungan dan layanan bagi komunitas LGBT, yang dikatakan sering menjadi sasaran pelecehan dan diskriminasi.

Lebih dari setengah abad yang lalu, di tahun 1970, ALA membentuk sebuah kelompok kerja yang sekarang bernama Rainbow Round Table. Penggagasnya adalah para pustakawan yang juga aktivis LGBT.

Kelompok kerja ini membuat panduan bagi perpustakaan untuk melayani dan membantu komunitas LGBT. Mereka juga aktif menggelar konferensi, memberikan penghargaan tahunan untuk buku, individu, dan lembaga yang mempromosikan LGBT.

Yang menarik, salah satu pemenang penghargaan buku 2024 adalah memoar karya Lamya H. Di dalam bukunya, penulis berbicara tentang gender dan membandingkan pengalaman hidupnya dengan kisah-kisah di dalam al-Qur’an.

Buku pemenang penghargaan cenderung memperoleh perhatian dan mungkin dapat memengaruhi pandangan pembaca terhadap LGBT. Melalui penghargaan semacam itu serta kegiatan lainnya, organisasi pustakawan berupaya mengarusutamakan isu LGBT melalui literasi di masyarakat

Dukungan Perpustakaan

Sejumlah perpustakaan umum secara khusus menyediakan koleksi yang mendukung kelompok LGBT. Koleksi ini mencakup beberapa aspek, termasuk sejarah, kondisi aktual, dan masa depan kelompok tersebut. Jenis koleksinya terdiri dari novel grafis, komik, karya sastra, hingga biografi, yang menyajikan pengalaman dan masalah-masalah yang mereka hadapi.

Beberapa perpustakaan juga menyediakan daftar buku yang direkomendasikan untuk pembaca. Mereka menawarkan berbagai genre termasuk fiksi dan nonfiksi, serta kajian-kajian tentang LGBT.

Lebih jauh, daftar ini disusun berdasarkan kategori pembaca, seperti anak-anak, remaja, dan keluarga. Tidak hanya buku, rekomendasi juga mencakup film dan literatur yang membahas sejarah serta perkembangan komunitas LGBT.

Perpustakaan menjadi wadah bagi pendukung LGBT untuk berkumpul dengan acara diskusi, temu penulis, podcast, hingga pemutaran film. Dengan begitu, masyarakat umum yang menghadirinya mungkin bisa dibentuk opininya untuk mendukung mereka.

Program-program tersebut dipublikasikan melalui situs web perpustakaan, menandakan bahwa perannya tidak hanya sebatas sebagai tempat membaca. Lebih dari itu, lembaga perpustakaan juga berfungsi sebagai agen penyebaran paham LGBT.

Upaya intelektual

Dukungan terhadap LGBT tidak hanya dilakukan melalui aksi organisasi, program dan kegiatan perpustakaan, tetapi juga melalui upaya intelektual. Salah satu bentuknya adalah mengusulkan revisi istilah dalam daftar tajuk subjek perpustakaan, yaitu sistem pengelompokan topik yang digunakan untuk mengorganisasi koleksi buku dan materi lainnya.

Daftar terstandar tersebut disusun oleh Library of Congress, perpustakaan DPR yang juga berfungsi sebagai perpustakaan nasional. Selain sebagai alat teknis, ia juga mencerminkan perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai dinamika di tengah masyarakat.

Para pustakawan pro-LGBT terus mengkritik istilah-istilah di dalamnya. Secara bertahap, mereka mengubah kategori topik-topik LGBT dari yang bernada negatif menjadi netral atau positif.

Pada tahun 1972, mereka menyesuaikan istilah homoseksual yang sebelumnya dikategorikan sebagai penyimpangan menjadi kategori normal. Dari yang sebelumnya dianggap sebagai kelainan menjadi orientasi atau kecenderungan yang biasa saja.

Istilah-istilah lain direlokasi atau dihilangkan, dan istilah baru pun ditambahkan mengikuti perkembangan wacana di dalam komunitas LGBT mengenai identitas mereka. Pendek kata, penyesuaian itu bertujuan untuk mengubah citra komunitas dan pemahaman terhadap mereka agar lebih mudah diterima melalui bacaan di perpustakaan.

Itulah gambaran bagaimana perpustakaan memiliki andil dalam penyebaran paham LGBT, warisan kaum pembangkang dari umat Nabi Luth as.

Jejak langkahnya telah kita telusuri. Melalui aktivitas organisasi, program dan kegiatan perpustakaan, serta jalur intelektual, mereka berupaya mengubah persepsi publik agar diterima sebagai bagian yang lumrah dari keberagaman di Amerika.

Bagaimana dengan perpustakaan di Indonesia?

*) Faisal Syarifudin, S.Ag, S.S, M.Si, adalah Dosen Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Email: faisal.syarifudin@uin-suka.ac.id

Baca Juga :  Said Didu Tolak Mediasi, Jimly: Demokrasi Butuh Ruang Kritik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev