Upaya Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, berujung kegagalan dramatis.
Banuaterkini.com, JAKARTA - Dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jumat (09/05/2025), penyidik KPK mengungkap bahwa mereka kehilangan jejak Hasto di lingkungan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan.
Pernyataan mengejutkan itu disampaikan langsung oleh penyidik KPK, AKBP Rossa Purbo Bekti, saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang menjerat Hasto.
Menurutnya, operasi yang berlangsung pada awal Januari 2020 itu mulanya menargetkan penangkapan terhadap dua pihak, yaitu Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, dalam perkara suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
“Setelah keduanya ditangkap, kami menemukan adanya aliran dana suap dan gratifikasi yang mengarah pada Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku,” kata Rossa di hadapan majelis hakim, dikutip dari Bisnis.com.
Dari sejumlah barang bukti, termasuk komunikasi digital dan keterangan saksi, KPK meyakini bahwa dana suap itu bersumber dari Hasto.
Menindaklanjuti informasi tersebut, tim penyidik melacak pergerakan Hasto dari kantor DPP PDIP menuju kawasan PTIK.
Namun, sesampainya di kompleks PTIK, tim penyidik justru mengalami hambatan serius. Mereka tertahan di depan gerbang dan tak bisa melanjutkan pengejaran lebih dalam.
“Saya pernah bersekolah di situ dua tahun, jadi saya tahu sensitivitasnya. Kami tertahan di depan dan tidak bisa bergerak,” jelas Rossa.
Kondisi semakin rumit ketika rombongan penyidik KPK didatangi oleh sekelompok orang.
Mereka diinterogasi dan kemudian dibawa masuk ke sebuah ruangan di dalam kompleks tersebut.
“Rombongan kami ada lima orang. Kami diinterogasi, dibawa ke sebuah ruangan, dan akhirnya kehilangan jejak Hasto dan Harun Masiku,” ungkapnya.
Keterangan Rossa membuka kembali sorotan publik terhadap kegagalan penangkapan Harun Masiku dan dugaan perlindungan terhadap Hasto Kristiyanto.
Hingga hari ini, Harun Masiku masih berstatus buronan dan belum diketahui keberadaannya.
Sidang ini sekaligus memunculkan kembali pertanyaan besar tentang hambatan institusional dalam penegakan hukum, khususnya ketika menyentuh tokoh-tokoh politik penting.