Fenomena meningkatnya kasus guru dilaporkan oleh wali murid karena dianggap melakukan kekerasan terhadap anak menjadi sorotan utama dalam diskusi Majelis Ilmu Bangbang Wetan yang digelar di halaman Kampus Stikosa AWS pada Sabtu malam (23/11/2024).
Banuaterkini.com, SURABAYA - Bertema “Menakar Ruang Ajar”, acara ini menghadirkan tokoh sentral Bangbang Wetan, Sabrang Noe Letto, dan berhasil menarik perhatian generasi muda yang mendominasi jamaah.
Diskusi ini bukan sekadar refleksi terhadap peran guru dalam pendidikan, tetapi juga pembahasan menyeluruh tentang dinamika sosial yang memengaruhi hubungan antara guru, siswa, dan orangtua.
Di tengah semakin kompleksnya interaksi pendidikan modern, tantangan besar muncul, terutama bagi para guru yang sering kali harus menghadapi ancaman hukum hanya karena menerapkan disiplin di kelas.
Moderator diskusi, Sukowidodo, membuka acara dengan memaparkan pergeseran budaya pendidikan di Indonesia. Jika dahulu tindakan fisik guru untuk mendisiplinkan siswa dianggap wajar, kini hal tersebut sering berujung pada tuntutan hukum dari wali murid.
Fenomena ini bahkan melahirkan berbagai meme dan sindiran di media sosial, yang menggambarkan para guru enggan bertindak terhadap siswa bermasalah karena takut dilaporkan.
Ketua Stikosa AWS, Jokhanan Kristiyono, mengungkapkan kekhawatirannya atas kondisi ini. Ia menyoroti munculnya generasi "strawberry"—generasi yang dianggap rapuh menghadapi tekanan.
Salah satu contohnya adalah siswa yang mengadu ke orangtuanya hanya karena merasa tidak nyaman di sekolah.
"Pendidikan pertama dan utama harus berasal dari keluarga. Sekolah hanya pelengkap," tegas Jokhanan.
Senada dengan itu, Bagus Irawan, dosen Universitas Trunojoyo Madura, menyoroti kesalahpahaman banyak orangtua yang sepenuhnya menyerahkan tanggung jawab pendidikan kepada sekolah.
Ia menekankan pentingnya peran orangtua dalam mendidik anak di luar jam sekolah.
Dengan pendekatan humor, Yudith, seorang konten kreator sekaligus komika, menyampaikan pandangan tajam.
Menurutnya, anak-anak bermasalah di sekolah sering kali merupakan refleksi dari kurangnya perhatian dan cinta di rumah.
"Anak-anak itu tidak mencari pelajaran di sekolah, mereka mencari cinta yang hilang," ujarnya.
Yudith mengingatkan pentingnya peran orangtua dalam memberikan kasih sayang dan perhatian sebagai fondasi pembentukan karakter anak.
Sabrang Noe Letto, sebagai pembicara utama, mengajukan konsep tiga lingkaran pendidikan yang saling berkesinambungan.
Lingkar pertama adalah keluarga, di mana anak belajar nilai-nilai dasar seperti adab, akhlak, dan sopan santun. "Ilmu menjadi manusia harus diajarkan di rumah, sebab itu adalah ilmu yang dipakai setiap saat," jelas Sabrang.
Lingkar kedua adalah sekolah, tempat anak mempelajari ilmu yang telah dikodifikasi seperti matematika dan sains.
Lingkar ketiga adalah ruang publik, yang membentuk kemampuan sosial, kreativitas, dan keberanian menyatakan pendapat.
Menurut Sabrang, ketiga lingkar ini harus berjalan seimbang agar anak dapat tumbuh menjadi individu yang unggul.
Diskusi ini juga menyoroti komitmen Stikosa AWS sebagai institusi pendidikan yang membuka ruang publik untuk belajar dan berdiskusi.
Ketua Stikosa AWS, Jokhanan Kristiyono, menegaskan bahwa program-program seperti Munio! dan Majelis Ilmu Bangbang Wetan dirancang untuk menciptakan ruang diskusi tanpa sekat.
Hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat modern akan ruang terbuka untuk bertukar gagasan.
Melalui acara yang meriah dengan penampilan grup musik rock Gupala dan visualisasi panggung yang megah, Majelis Ilmu Bangbang Wetan kali ini tidak hanya menjadi forum diskusi tetapi juga pengingat akan pentingnya sinergi antara keluarga, sekolah, dan ruang publik dalam menghadapi tantangan pendidikan di era modern. (Redho)