Pers dituntut mampu memverifikasi kebenaran informasi dengan menggunakan daya nalar kritisnya, sebelum menjadikan informasi sebagai berita media massa.
Oleh: Mohammad Nasir *)
PERUSAHAAN media siber, seperti yang tergabung dalam organisasi pers Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) sekarang dituntut memiliki wartawan yang mampu berpikir kritis.
Dengan berpikir kritis, kita bisa memperbaiki kualitas jurnalisme, menyaring informasi dan membedakan mana yang benar dan mana yang bohong. Tanpa berpikir kritis, berita yang disajikan kepada masyarakat akan tercampur sampah informasi.
Apalagi kalau hanya mengandalkan informasi yang didapat dari artificial intelligence (AI), mesin pendaur ulang informasi, tanpa diverifikasi kebenarannya terlebih dulu, jurnalisme yang diproduksi akan bercampur kabar bohong (hoax).
Hoax adalah musuh jurnalisme. Jurnalisme mengedepankan kejujuran dan kebenaran dalam menyampaikan berita. Apapun platform medianya, tradisi verifikasi, menguji kebenaran informasi, dan mengkonfirmasi, harus tetap dilakukan.
Wartawan bebas membaca berita dari sumber manapun, dan mengutip sumber manapun dengan tetap menjunjung tinggi etika dan kejujuran, serta ikut bertanggung jawab atas kebenaran informasi yang disampaikan.
Materi yang dikutip boleh dari jumpa pers, siaran pers atau press release, pernyataan dalam wawancara, isi ceramah, atau hasil penelusuran dari google dan AI. Akan tetapi sekali lagi wartawan harus skeptis terhadap semua itu, meragukan kebenarannya.
Kalau kemudian wartawan tertarik mengutipnya, harus melakukan verifikasi atau konfirmasi terlebih dulu, poin-poin mana yang diragukan dan perlu dicek ulang kebenarannya.
Kita tahu bahwa tidak semua informasi berlimpah di masyarakat itu benar.