Berpikir Kritis
Beberapa kali selama tahun 2023- 2024 di berbagai daerah dan Jakarta, kami mendapat kesempatan mengajar jurnalisme dan kami selalu menyelipkan materi berpikir kritis (critical thinking).
Saya pikir dalam pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Dewan Pers menjelang atau pra uji kompetensi wartawan (UKW) itu perlu diselipkan materi berpikir kritis.
Materi yang sama, bahkan dalam jumlah yang lebih banyak, kami sampaikan di kelas Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI). SJI adalah sekolah berjalan yang dikelola Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Sebagian peserta didiknya adalah anggota PWI yang bekerja di perusahaan media siber anggota SMSI.
Untuk mengajak wartawan berani berpikir kritis tidak semudah yang diharapkan. Banyak di antara mereka yang takut kehilangan relasi, jejaring, atau jaringan kerja akibat bersikap kritis. Untuk itu mereka perlu diberikan pendasaran yang memadai untuk selanjutnya menjadi kesadaran menjalankan tugas sebagai wartawan.
Pendasaran berpikir kritis yang kami berikan, wartawan harus merasa bebas terlebih dulu. Maka sebelum membahas berpikir kritis, kita perlu membahas kebebasan.
Kebebasan, berpikir kritis, dan selalu skeptis adalah satu rangkaian sebagai upaya mencari kebenaran. Kebebasan menjadi hak asasi manusia yang paling hakiki.
Kebebasan atau kemerdekaan secara umum di dalamnya termasuk kebebasan pers dan wartawan berpikir kritis.
Sejauh masih bisa berpikir, pergunakanlah akal sehat bebas berpikir dengan jangkauan luas dan mendalam. Hidup macam apa, kalau berpikir saja takut.
Untuk mengukuhkan kebebasan telah ditegaskan dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”