Demokrasi tidak hanya tentang partisipasi langsung, tetapi juga tentang efektivitas, efisiensi, dan hasil yang berpihak kepada kepentingan rakyat
Oleh: MS Shiddiq *)
Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sering dipandang sebagai puncak demokrasi partisipatif di Indonesia. Namun, wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)—sebagaimana diusulkan Presiden Prabowo Subianto—menghadirkan ruang diskusi yang mendalam tentang bagaimana demokrasi dapat berkembang secara lebih efisien dan substantif.
Pandangan yang menolak mekanisme ini sering kali berakar pada ketakutan terhadap oligarki, namun ada alasan ilmiah dan empiris yang mendukung urgensi pelaksanaan pilkada oleh DPRD.
Efisiensi Anggaran
Pemilihan langsung membutuhkan biaya yang sangat besar. Studi oleh Syarif Hidayat (2010) mengungkapkan bahwa biaya pilkada langsung di Indonesia bisa mencapai miliaran hingga triliunan rupiah, termasuk dana kampanye dan logistik.
Biaya politik ini tidak hanya memberatkan pemerintah, tetapi juga mendorong kandidat untuk mencari pendanaan dari pihak ketiga, yang pada akhirnya berpotensi memicu korupsi dan konflik kepentingan.
Pemilihan melalui DPRD dapat memangkas biaya secara signifikan, seperti yang terbukti dalam mekanisme pemilihan tidak langsung di negara-negara seperti Jerman dan India.
Di Jerman, kepala daerah di beberapa wilayah dipilih oleh badan legislatif lokal, yang memungkinkan pengambilan keputusan berbasis konsensus tanpa biaya elektoral yang tinggi. Hal serupa terjadi di India pada pemilihan beberapa pejabat tinggi di tingkat negara bagian, yang menunjukkan efisiensi birokrasi tanpa mengorbankan legitimasi.
Hindari Politik Uang dan Polarisasi
Salah satu kritik utama terhadap pilkada langsung adalah maraknya politik uang. Teori "Biaya Transaksi Politik" oleh William Niskanen (1971) menyebutkan bahwa ketika biaya transaksi politik meningkat, aktor politik akan mencari cara untuk memaksimalkan keuntungan melalui praktik-praktik yang tidak etis.
Dalam konteks pilkada langsung, ini terlihat melalui pembagian uang kepada pemilih dan penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi.
Dalam sistem pemilihan oleh DPRD, peluang politik uang tetap ada tetapi berpotensi lebih terkendali karena jumlah pemilih yang terbatas dan lebih mudah diawasi.
Hal ini dapat menciptakan ruang yang lebih sehat bagi kontestasi politik, dengan fokus pada kualitas program kerja dan kemampuan kepemimpinan calon.
Demokrasi Substantif vs Demokrasi Prosedural
Demokrasi tidak hanya soal prosedural—siapa yang memilih dan bagaimana mereka memilih—tetapi juga soal substansi, yaitu bagaimana proses tersebut menghasilkan kepemimpinan yang efektif.
Teori Schumpeterian tentang demokrasi menyatakan bahwa “demokrasi adalah prosedur institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu memperoleh kekuasaan melalui perjuangan kompetitif untuk suara rakyat” (Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy, 1942).
Pemilihan oleh DPRD masih memenuhi definisi ini, di mana persaingan politik tetap berlangsung di dalam parlemen sebagai representasi rakyat.
Dalam kasus Indonesia, DPRD adalah badan yang dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian, ketika DPRD memilih kepala daerah, keputusan tersebut secara tidak langsung mencerminkan kehendak masyarakat yang diwakili oleh mereka. Model ini mengurangi risiko manipulasi opini publik melalui kampanye masif yang didanai kapital besar.
Model Pilkada Negara Lain
Praktik pemilihan kepala daerah melalui badan legislatif bukan hal yang asing di dunia. Selain Jerman dan India, negara seperti Amerika Serikat juga menggunakan model pemilihan tidak langsung dalam memilih pejabat penting seperti Presiden, melalui sistem electoral college. Meskipun model ini sering dikritik, ia tetap dianggap sah karena didasarkan pada prinsip representasi yang terstruktur.
Lebih dekat dengan Indonesia, Malaysia mempraktikkan pemilihan kepala negara bagian melalui Majelis Legislatif Negeri. Sistem ini telah berjalan dengan stabil tanpa banyak gangguan politik yang disebabkan oleh rivalitas akut seperti yang sering terjadi dalam pilkada langsung di Indonesia.
Demokrasi yang Dewasa
Argumen bahwa pilkada oleh DPRD adalah kemunduran demokrasi sering kali gagal memahami esensi dari demokrasi itu sendiri.
Demokrasi tidak hanya tentang partisipasi langsung, tetapi juga tentang efektivitas, efisiensi, dan hasil yang berpihak kepada kepentingan rakyat.
Dalam konteks Indonesia, sistem ini dapat menjadi solusi untuk mengurangi biaya politik, memperkuat stabilitas sosial, dan menciptakan pemerintahan yang lebih efektif.
Menghadapi tantangan yang terus berkembang, sudah waktunya Indonesia mengadopsi model demokrasi yang lebih dewasa dan berorientasi pada hasil.
Pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah langkah yang tidak hanya realistis, tetapi juga sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi substantif yang matan. Wallahu A’lam.
*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi Banuaterkini.com, Pegiat Literasi Digital.