Laporan: Ariel Subarkah l Editor: Ghazali Rahman
Tingkat keterpilihan atau elektabilitas politik para calon presiden (capres) mengalami fluktuasi dan cukup dinamis beberapa bulan terakhir ini. Prabowo bahkan mulai menggeser elektabilitas Ganjar Pranowo yang diusung PDI Perjuangan apalagi Anies Baswedan yang didukung koalisi perubahan untuk persatuan.
Jakarta, Banuaterkini.com - Dilansir dari Kompas.com, hasil survei sejumlah lembaga survei yang selama ini banyak dijadikan acuan elektabilitas kandidat seperti LSI Denny JA, Indobarometer dan lainnya menempatkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengungguli kedua capres lainnya.
Hanya survei SMRC yang menunjukkan keunggulan elektabiltas Ganjar Pranowo dibanding Prabowo Subianto.
Survei LSI Denny JA mencoba menyoroti arah suara pendukung para mantan presiden Indonesia. Prabowo mendapat suara tertinggi dari pendukung Suharto, Gus Dur, dan Jokowi.
Sementara itu, Ganjar Pranowo memenangkan suara pendukung Sukarno dan Megawati. Dan Anies Baswedan mendapat dukungan tertinggi dari pendukung BJ Habibie dan SBY.
Sementara survei Litbang Kompas bulan Mei 2023 menyoroti arah dukungan kaum Nahdliyin, yang juga menempatkan Prabowo pada posisi teratas.
Elektabilitas Prabowo di kalangan Nahdliyin mencapai 25,8 persen, naik sekitar 7 persen dibanding hasil survei Januari 2023.
Prabowo meninggalkan Ganjar yang berada di posisi kedua dengan elektabilitas sebesar 24,9 persen. Anies berada di urutan ketiga dengan elektabilitas 12,3 persen.
Pada awal bulan Juni 2023, Indikator Politik Indonesia juga merilis hasil survei simulasi tiga nama, yang juga menempatkan Prabowo di posisi teratas.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan, Prabowo Subianto memperoleh angka 38 persen, diikuti oleh Ganjar Pranowo dengan angka 34,2 persen, lalu Anies Baswedan dengan raihan angka 18,9 persen.
Hanya hasil survei SMRC yang menunjukkan bahwa Ganjar lebih unggul ketimbang Prabowo. Itupun segmen pemilih yang disurvei oleh SMRC agak "segmented" alias di kalangan yang agak terbatas, yakni hanya kalangan terdidik yang memiliki akses pada sumber-sumber informasi.
Pada Senin (05/06/2023), SMRC merilis hasil survei bertajuk "Kualitas Popularitas dan Elektabilitas Bacapres di Pemilih Kritis" yang dilakukan pada 30-31 Mei 2023 melalui saluran telepon.
Hasilnya, di kalangan pemilih kritis, dukungan pada Ganjar Pranowo tercatat paling tinggi, yakni 37,9 persen, diikuti oleh Prabowo Subianto sebesar 33,5 persen, dan Anies Baswedan sebesar 19,2 persen.
Dari total sampel yang disurvei oleh SMRC, terdapat sekitar 9,4 persen yang belum menentukan pilihan.
Hasil survei beberapa lembaga survei dua bulan terakhir ini menyisakan catatan penting, terutama untuk capres Ganjar Pranowo yang sedari tahun lalu justru sering bertengger di posisi teratas.
Agak aneh memang, justru setelah Ganjar secara resmi mendapatkan dukungan resmi dari PDIP, tingkat elektabilitasnya dilewati oleh Prabowo Subianto.
Pertama, jika berkaca pada hasil survei LSI Denny JA terlihat jelas bahwa Ganjar belum berhasil mengonsolidasikan dukungan dari para pendukung Jokowi.
Bahkan hingga hari ini, relawan sekelas Projo belum juga menentukan arah dukungannya. Pun setelah Ganjar mendapat mandat resmi dari PDIP, Projo masih cawe-cawe mengurus Musra (musyawarah rakyat) untuk mendapatkan nama yang akan mereka dukung (sesuai arahan Jokowi).
Sebagaimana diketahui, suara pendukung Jokowi tidak saja berasal dari simpatisan PDIP. Jadi saat Ganjar berhasil mengantongi dukungan resmi dari PDIP, tidak berarti urusan selesai.
Ganjar masih membutuhkan upaya ekstra untuk meraih simpati dari barisan pendukung Jokowi yang berlatar politik non PDIP.
Saya menduga, upaya untuk menggiring suara pendukung Jokowi bukanlah upaya mudah mengingat Jokowi belum juga menyatakan dukungan resminya kepada salah satu pihak baik Prabowo maupun Ganjar.
Apalagi santer dikabarkan bahwa ada kemungkinan Jokowi bermain dua kaki, satu kaki diletakkan di kandidat yang didukung PDIP, sementara satu lagi diletakkan di Hambalang.
Faktanya, ambiguitas sikap politik Jokowi ini ternyata dikapitalisasi secara maksimal oleh Prabowo Subianto.
Menteri Pertahanan ini memaksimalisasi jadwal-jadwal kebersamaan resminya dengan Jokowi. Keduanya acapkali muncul bersama di berbagai event dan acara, yang tentunya sangat menarik perhatian awak media.
Tak pelak, taktik tersebut akan memunculkan kesan bahwa sebenarnya Jokowi juga memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto.
Prabowo mengubah total strategi politiknya, jika dibanding dengan strategi tahun 2019 lalu. Ketika itu, Prabowo memaksimalkan kantong suara mengambang (floating mass), sembari membangun militansi di kantong suara sendiri.
Kini Prabowo menyadari setelah dua kali berlaga dengan Jokowi bahwa dirinya memiliki "captive market" yang sifatnya nyaris "constant".
Sehingga tugas lanjutan yang paling utama saat ini adalah untuk melengkapi "constant captive market" tersebut dengan suara dari pendukung Jokowi, baru kemudian suara pemilih mengambang.
Artinya, Prabowo mengubah aturan main politiknya karena tiga hal. Pertama, karena Jokowi masih memainkan kartu ambiguitas politik atas calon presiden yang ada.
Kedua, karena Jokowi tidak lagi bisa berlaga di pemilihan 2024 mendatang. Dan ketiga, karena Prabowo setelah laga 2019 menjadi salah satu menteri di dalam kabinet pemerintahan Jokowi.
Karena itu, strategi ini tentu tidak bisa beliau mainkan kalau Jokowi tegas menyatakan dukungan kepada Ganjar atau kalau Prabowo tidak menjabat sebagai seorang Menteri Pertahanan di dalam pemerintahan Jokowi.
Boleh jadi saat ini Prabowo masih dianggap sebagai antithesis dari Jokowi layaknya pra pemilihan 2019 lalu, jika beliau tidak berada dalam pemerintahan saat ini.
"Every great political campaign rewrites the rules; devising a new way to win is what gives campaigns a comparative advantage against their foes," kata John Podhoretz.
Ya, itulah yang dilakukan oleh Prabowo. Ia mengubah strategi politiknya karena dua faktor di atas yang memang menguntungkan posisinya.
Jadi lampu kuning pertama untuk kubu Ganjar adalah bahwa mau tak mau, Ganjar, tim pemenangannya, dan terutama PDIP, harus berjuang keras mengantisipasi agar sesedikit mungkin suara pendukung Jokowi yang melimpah ke Prabowo.
Komitmen dari Jokowi harus dikunci sesegera mungkin, agar Jokowi segera mengerahkan segala kekuatan dan kesempatan yang ia punya untuk mengalihkan dukungan dari pendukungnya kepada Ganjar Pranowo.
Langkah pertama tentu upaya untuk menghentikan kartu ambiguitas politik Jokowi. PDIP dan Ganjar harus bernegosiasi lebih lanjut dengan Jokowi agar Jokowi bisa lebih yakin berada seratus persen di biduk PDIP dan Ganjar Pranowo.
Pasalnya, ambiguitas politik yang beliau tunjukkan telah membuat langkah-langkah Prabowo dalam menggiring pemilih Jokowi menjadi efektif terealisasi.
Bahkan boleh jadi karena kartu ambiguitas tersebut, Gibran akhirnya berani menerima Prabowo sebagai tamunya di Solo dan membiarkan relawan Jokowi di Solo secara terbuka menyuarakan aspirasi mendukung, bahkan akan memilih Prabowo.
Langkah selanjutnya tentu menandingi jadwal kebersamaan Prabowo bersama Jokowi.
Pertama, sebagai Gubernur dari salah saru Provinsi berpenduduk mayoritas di Indonesia, Ganjar Pranowo yang adalah Gubernur Provinsi Jawa Tengah sebenarnya bisa memiliki banyak momen bersama Presiden Jokowi. Ganjar seharusnya bisa memanfaatkan kapasitas ini.
Kedua, sebagai calon presiden dari PDIP, yang notabene adalah partai pendukung Jokowi juga, Ganjar sepatutnya bisa memperbanyak intensitas kebersamaan dengan Jokowi. Apalagi menjelang pemilihan seperti saat ini.
Dan apalagi Ganjar dikategorikan sebagai calon presiden penerus Jokowi, bukan pengganti Jokowi. Otomatis Ganjar harus sering-sering bersama Jokowi agar estafet kepemimpinan menjadi lebih mudah dilangsungkan, jika Ganjar kelak sukses memenangkan pemilihan.
Persoalan ini seharusnya juga menjadi perhatian Jokowi. Sebagai kader PDIP, yang sudah dikawal sejak menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai menjadi Presiden dua periode, Jokowi semestinya secara terbuka menggunakan mesin politik non PDIP yang telah mendukungnya selama ini untuk memenangkan Ganjar.
Artinya, Jokowi semestinya mengingat kembali falsafah Bung Karno soal "Jasmerah", jangan sekali-kali melupakan sejarah, terutama sejarah perjalanan politik Jokowi sendiri yang sedari awal faktanya sudah bersama PDIP.
Barisan relawan Jokowi sudah semestinya mendapatkan kepastian dari beliau tentang calon presiden yang beliau dukung serta usung.
Bukankah itu yang semestinya dilakukan oleh seorang kader yang baik? Yakni memberi jalan semulus dan selebar-lebarnya kepada kader yunior untuk menggantikan beliau.
Padahal, yang dibutuhkan Ganjar sebenarnya bukanlah aksi cawe-cawe Jokowi, tapi keberpihakan politik yang sesuai dengan aturan yang ada.
Dengan keberpihakan tersebut, barisan-barisan pendukung Jokowi akan patuh untuk mengikutinya. Termasuk anak Jokowi sendiri.
Masalahnya, cawe-cawe Jokowi terkesan untuk mengamankan dirinya sendiri setelah pemilihan nanti di mana kakinya diletakkan di dua pasangan calon.
Boleh jadi aman untuk beliau, tapi membahayakan untuk calon presiden dari partai di mana Jokowi juga menjadi kadernya.
Secara historis dan teoritis, nyatanya tidak ada presiden yang ikut melakukan cawe-cawe secara masif dan intensif setelah akhir masa jabatan terakhirnya (akhir periode kedua).
SBY adalah contoh terbaru soal ini di mana beliau membiarkan proses politik prapemilihan 2014 berlangsung secara natural, tanpa intervensi. Karena keputusan "non cawe-cawe" SBY itu akhirnya Jokowi bisa sampai ke Istana.
Bagaimana jika saat itu SBY memutuskan untuk cawe-cawe dengan menghalangi calon dari PDIP? Tentu ceritanya bisa saja berbeda.
Ketimbang cawe-cawe yang cenderung terkesan ikut mengutak-atik komposisi pemain di dalam pemilihan, sebenarnya jalan terbaik bagi Jokowi adalah fokus memenangkan Ganjar Pranowo, dengan semaksimal mungkin melakukan upaya-upaya politik untuk memastikan bahwa pendukungnya yang non PDIP itu bisa beralih ke Ganjar.
Sebagaimana sudah dibahas di atas, Prabowo merasa bahwa kemenangannya ada pada sebagian pemilih Jokowi yang non PDIP.
Jika demikian, dengan memastikan pemilihnya tidak beralih ke pihak lain, maka otomatis Jokowi telah memberikan dorongan penting untuk kemenangan Ganjar.
Masalah kedua yang membuat elektabilitas Ganjar terlewati oleh Prabowo adalah kevakuman gerakan besar setelah PDIP meresmikan dukungan terhadap Ganjar Pranowo.
Sebagaimana disaksikan, aktivitas Ganjar Pranowo setelah pencalonan resminya tidak banyak yang menonjol dan menuai atensi publik.
Memang ada jadwal-jadwal perjalanan ke beberapa daerah. Tapi nampaknya gaung dan magnitude politiknya tidaklah besar.
Boleh jadi karena momennya tidak terlalu signifikan, atau boleh jadi juga karena apa yang disampaikan oleh Ganjar Pranowo di setiap jadwalnya kurang menunjukkan marwahnya sebagai seorang calon presiden.
Pesan-pesannya masih terkategori sebagai pesan-pesan seorang gubernur.
Untuk itu, ke depan Ganjar memerlukan narasi-narasi baru yang lebih "greget" yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang calon presiden yang berpotensi memenangkan pemilihan kelas Presiden.
Pidato Ganjar Pranowo di puncak Bulan Sukarno minggu ini di Gelora Bung Karno Jakarta adalah salah satu contoh bagus.
Narasi Ganjar Pranowo sudah cukup mewakili kapasitasnya sebagai seorang calon presiden penerus Jokowi.
Masih dibutuhkan momen-momen lain di mana Ganjar Pranowo bisa menyampaikan narasi besar dengan pesan yang kuat, baik narasi yang memperjelas keterkaitan Ganjar dengan Jokowi, maupun narasi baru yang akan memperkuat keberadaan kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi setelah beliau tidak berkuasa lagi.
Saya cukup yakin jika beberapa langkah strategis di atas dijalankan dengan baik, lampu kuning yang hari ini menyala untuk Ganjar Pranowo akan berubah menjadi lampu hijau di mana Ganjar Pranowo akan kembali ke posisi teratas dalam survei-survei dan mempertebal potensi kemenangan di laga 2024 nanti. (Kompas)
Artikel serupa sudah pernah tayang di Kompas.com dengan judul artikel "Lampu Kuning untuk Ganjar Pranowo.