Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kalimantan Selatan baru-baru ini, yang menjerat Gubernur Sahbirin Noor—atau yang akrab disapa Paman Birin—seolah menjadi drama yang kembali mengingatkan kita tentang betapa licinnya praktik korupsi di tanah air.
Oleh: M. S Shiddiq
Pemandangan yang menghiasi OTT kali ini cukup menggelitik: kotak kardus berisi uang tunai yang diduga sebagai "fee" dari proyek-proyek yang telah dikondisikan, seolah-olah menjadi simbol betapa praktek korupsi sudah tertanam dalam sistem birokrasi kita.
OTT KPK di Kalimantan Selatan yang menjerat Gubernur Sahbirin Noor, atau akrab disapa Paman Birin, tidak hanya menyeret nama-nama besar tetapi juga memperlihatkan satu simbol kuat: kotak kardus yang penuh dengan uang tunai.
Simbol ini menjadi representasi paling nyata dari korupsi yang terus membudaya di dalam birokrasi, meski berbagai aturan telah diberlakukan untuk memberantasnya.
Kardus, Ikon Baru Korupsi
Kardus-kardus berisi uang yang disita KPK dari berbagai pihak yang "berafiliasi" dengan Paman Birin menggambarkan bagaimana skema korupsi dalam proyek pengadaan barang dan jasa (PBJ) masih terjadi, meski proses tender telah beralih menjadi elektronik melalui e-catalog.
Sistem e-catalog dirancang untuk mengedepankan transparansi, efisiensi, dan keadilan dalam pengadaan barang. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, “e-catalog yang kita harapkan lebih transparan justru berubah menjadi penunjukan langsung secara elektronik.”
Dalam teori Korupsi Sistemik (systemic corruption), dijelaskan bahwa korupsi tidak lagi menjadi tindakan individual, melainkan menjadi bagian dari sistem di mana berbagai aktor terlibat dalam skema yang diatur rapi.