Seperti yang dijelaskan oleh Agustino (2009), “politik uang adalah tindakan jual-beli suara pada proses politik dan kekuasaan.” Hal ini menunjukkan bahwa pemilih transaksional tidak hanya menjadi objek praktik ini, tetapi juga menjadi bagian dari sistem yang melanggengkan tradisi buruk dalam demokrasi Indonesia.
Penyebab Utama Politik Uang
Praktik politik uang tidak terlepas dari faktor-faktor struktural dan kultural yang telah lama mengakar di masyarakat Indonesia. Tradisi ini dapat ditelusuri kembali ke masa kolonial, ketika pejabat pribumi sering kali disuap untuk mempermudah kepentingan penjajah.
Dalam konteks modern, politik uang terus berkembang, didorong oleh kombinasi faktor seperti kemiskinan, rendahnya literasi politik, dan lemahnya penegakan hukum.
Kemiskinan menjadi salah satu faktor utama yang membuat masyarakat mudah tergoda dengan imbalan materi sesaat. Dalam kondisi ini, politik uang sering kali dipandang sebagai "berkah" sementara, meskipun dampaknya terhadap kualitas demokrasi sangat merugikan.
Rendahnya literasi politik juga berperan penting dalam melanggengkan praktik ini. Banyak masyarakat yang belum memahami dampak jangka panjang dari memilih kandidat berdasarkan imbalan materi, sehingga mereka cenderung mengabaikan visi atau program kerja kandidat.
Penegakan hukum yang lemah semakin memperparah situasi. Hukuman terhadap pelaku politik uang sering kali tidak memberikan efek jera, sehingga praktik ini dianggap sebagai bagian wajar dari "biaya politik."
Hal ini mencerminkan pernyataan Lord Acton bahwa “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut,” di mana politik uang menjadi alat untuk mengamankan kekuasaan tanpa mempertimbangkan etika atau integritas.
Dampak Politik Uang terhadap Demokrasi
Dampak politik uang terhadap demokrasi sangat destruktif. Praktik ini merusak integritas pemilu dengan menghilangkan potensi pemilih yang kritis dan rasional.