Mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming, hadir sebagai saksi dalam persidangan dugaan korupsi dengan terdakwa mantan Kadis ESDM Tanah Bumbu,H Dwijono Putrohadi Sutopo, belum lama tadi. Ft: Tribunenews.com
Editor: Misbad/M/DQ
Banjarmasin, Banuaterkini.com – Terdakwa Mantan Kadis ESDM Tanbu, H Dwijono Putrohadi Sutopo, membantah ada aliran dana kepada Bupati Tanah Bumbu ketika itu, Mardani H Maming.
Pernyataan terdakwa Dwijono tersebut merupakan jawaban terhadap kepada majelis hakim yang mempetanyakan apakah ada aliran dana yang diterimanya juga mengalir kepada Madani.
Sidang lanjutan dugaan korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu) digelar di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Senin (23/05/22).
Menurut keterangan terdakwa, aliran dana total Rp 13,6 miliar lebih yang diterimanya dari almarhum Henry Soetio, baik melalui kartu ATM atas nama Yudi Aron, merupakan utang-piutang. Bukan suap.
Dituturkannya, uang itu diserahkan kepadanya melalui ATM atas nama Yudi Aron pada 2015. Jauh hari setelah adanya pengalihan IUP dari PT BKPL kepada PT PCN milik almarhum Henry Soetio pada 2011.
"Pinjaman itu karena adik saya yang bilang mau kerja (usaha). Jadi, saya komunikasikan ke almarhum Pak Henry dan disetujui, walaupun tidak seluruhnya dan bertahap karena saya ajukan (pinjaman) Rp 20 miliar," urainya.
Berdasarkan pengakuan terdakwa H Dwijono, dana tersebut sebagian dijadikan modal untuk mendirikan PT BMPE yang bergerak di bidang pertambangan batu bara. Direktur perusahaan ini adalah adik kandungnya. Dia juga mengakui menggunakan dana tersebut di luar keperluan operasional perusahaan, seperti mentransfer kepada istrinya, dan sejumlah keperluan lainnya.
Pada sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Yusriansyah itu, penasihat hukum terdakwa juga menghadirkan dua orang saksi ahli yaitu Muzakir, ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), dan Margarito, seorang pakar hukum tata negara
Hakim mempertanyakan kepada ahli Mudzakir, melalui perumpamaan apakah transaksi pinjam-meminjam uang oleh seorang kepala dinas dari seseorang pengusaha pada 2015 dapat diklasifikasikan sebagai suap atau gratifikasi. Pinjaman uang itu terkait pengurusan pengalihan IUP milik perusahaan pada 2011.
Ahli Mudzakir menjelaskan, bahwa suatu transaksi pinjam-meminjam dapat diklasifikasikan sebagai gratifikasi atau suap sangat bergantung pada ikrar kesepakatan awal.
"Pinjam-meminjam dalam bahasa hukum tetap pinjam meminjam. Artinya, ada pemilik dana dan peminjam dana. Harus ada kesepakatan pinjaman tersebut. Dalam hal pinjam-meminjam, kewajiban peminjam harus mengembalikan dana ke yang meminjamkan. Itu dibolehkan dan tidak bisa diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum," bebernya.
Sementara itu, ditambahkannya, bahwa esensi suap, itu harus ada pihak pemberi suap. Penyelenggara negara bersedia berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban dalam jabatannya.
"Tinggal dibuktikan, apakah itu kesepakatan itu ada atau tidak," jelasnya.
Sementara itu, Hakim juga menanyakan kepada Ahli Margarito, melalui perumpamaan mekanisme pertanggung jawaban suatu produk hukum berupa SK yang diterbitkan Bupati berkaitan dengan IUP pada tahun 2011. Dan, pada saat itu kewenangan terkait IUP berada pada kepala daerah tingkat II.
Ahli Margarito menyampaikan, dengan perumpamaan demikian, Bupati menjadi satu-satunya orang di lingkup pemerintahan tingkat II yang berkewenangan menerbitkan produk hukum terkait IUP.
"Dari ilmu administrasi negara, kewenangan cuma ditemukan di dalam UU, didefinisikan di UU, tidak ada di tempat lain. Bupati adalah satu satunya pejabat yang berkewenangan menerbitkan IUP," ujarnya.
Adanya kesalahan administrasi, menurutnya, adalah hal yang biasa dan dapat diperbaiki. Asalkan, tidak bersinggungan dengan persoalan pidana yang mendasari terjadinya kesalahan administrasi tersebut.
Menurut rencana persidangan akan dilanjutkan Senin (30/05/22 mendatang, dengan agenda pembacaan tuntutan.