Home » Tokoh

Wartawan Idealis itu Telah Pergi, Kisah Seorang Didi G Sanusi Menulis dalam Sunyi

Redaksi - Sabtu, 20 April 2024 | 21:37 WIB

Post View : 106

Pemimpin Redaksi jejakrekam.com, Almarhum Didi Gunawan Sanusi. Foto: BANUATERKINI/istimewa.

Oleh: MS Shiddiq Elbanjary

Tak ada yang bisa menerka kapan ajal tiba. Tua, muda, laki-laki dan perempuan, tak satupun yang bisa mengira kapan maut menjemputnya. Kira-kira itulah ungkapan yang dapat menggambarkan perasaan saya saat mendengar kolega saya Didi Gunawan Sanusi telah berpulang menghadap Yang Maha Kuasa.

Banuaterkini.com, BANJARMASIN - Didi Gunawan bin H Sanusi atau yang sering ditulis dengan nama Didi G Sanusi wafat di usianya ke-48 tahun. Lebih muda dari saya, tetapi karya-karyanya sangat luar biasa. 

"Mendapat kabar berita duka, Bang Didi G Sanusi berpulang," tulis Nasrullah salah seorang sahabat saya melalui WAGrup, Jumat (19/04/2024) petang.

Saya berusaha mengkonfirmasi ke sejumlah kolega wartawan lainnya, termasuk melalui salah seorang sahabat saya yang juga wartawan jejakrekam.com, Afdi.

Pemimpin Redaksi media online jejakrekam.com ini, memang sempat dirawat selama kurang lebih sepekan di Rumah Sakit Ulin Banjarmasin sejak 11 April lalu. 

Kala itu beredar kabar di sejumlah grup WhatsApp, kalau Didi tengah berjuang dengan penyakit komplikasi yang dideritanya; gagal jantung, stroke, infeksi paru dan penurunan kesadaran. Ngenes mendengarnya. Tapi, apa daya, saya yang sedang di luar kota tak bisa membezuknya terbaring sakit. 

Meski tim dokter RS Ulin Banjarmasin telah berupaya keras melakukan penanganan, tapi takdir berkendak lain, tepat pukul 18.50 WITA ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Sebagai sesama jurnalis dan orang peduli pada dunia jurnalistik di Kalimantan Selatan, saya melihat komitmen yang kuat dan perjuangan tak kenal lelah dari seorang Didi G Sanusi.

Dedikasinya pada dunia jurnalistik yang oleh Didi disebut sebagai hutan belantara, apalagi di tengah tantangan digitalisasi dewasa ini, Didi berupaya tetap menulis dengan kritis setiap persoalan yang ditemuinya. 

Bahkan, tak jarang dari tangannya lahir sejumlah tulisan yang luar biasa terkait dengan otokritiknya pada kebijakan pemerintah yang dinilainya bertentangan dengan kepentingan masyarakat.

Didi juga pernah mengeluhkan soal banyak media online yang dikelola oleh para jurnalis karbitan, yang entah apa motifnya, beramai-ramai membuat media online, tetapi tak memiliki kompetensi, jauh dari standar penulisan dan bahkan cenderung bertentangan dengan kode etik jurnalisitik.

Sebagai seorang teman berbagi cerita soal banyak hal di Kalsel, Didi tak jarang meminta komentar saya yang ia jadikan bahan berita. Tak jarang pula ia meminta tulisan atau opini saya untuk menyikapi problematika yang terjadi di Banua. Kami berbagi informasi dan pengalaman bersama, meski terkadang hanya melalui dunia maya. 

Keberpihakan Didi pada jurnalistik tak hanya soal pemberitaan, tetapi juga kesetiakawanannya pada sesama jurnalis seperti saya dan sejumlah rekan lainnya.

Pernah ketika saya mencalonkan diri sebagai Anggota DPD RI pada Pemilu 2014 dan 2019, atau saat saya mengikuti seleksi sebagai Kepala Ombudsman Kalsel, Didi termasuk salah satu kolega yang memberikan dorongan dan semangat untuk terus berkiprah melalui tulisan dan pemberitaan dari media yang dipimpinnya.

Saya yakin, hal serupa juga pernah dirasakan rekan-rekan lainnya, tak hanya keberpihakan pada sesama rekan jurnalis, terlebih pada kawan-kawan yang pro demokrasi, aktivis pergerakan termasuk aktivis lingkungan, ia berupaya menuangkan analisis melalui tulisan-tulisannya. 

Ia memang memiliki idealisme yang luar biasa. Tak bisa ditawar, tanpa pamrih, dan tentu saja komitmen yang tinggi pada upaya melakukan perbaikan dan pendidikan dengan kemampuannya, melalui karya-karyanya.

Saya menilai, Didi bukan sekedar jurnalis yang pandai merangkai kata menjadi sebuah berita. Kalau boleh dikatakan, Didi adalah prototif ideal seorang jurnalis yang menjunjung tinggi nilai-nilai media: mendidik, mengadvokasi, bahkan mendorong lahirnya kebijakan yang pro-rakyat. Di lain kesempatan ia tunjukkan bahwa dunia media itu juga menyenangkan.

Sebagai wartawan yang memiliki jam terbang tinggi, Didi merupakan wartawan yang low profile dan rendah hati. Di banyak pertemuan atau forum-forum yang ia datangi, Didi lebih menyukai duduk di bagian sudut ruang. 

"Lebih leluasa, bisa melihat suasana dan menuangkannya ke dalam berita," ujarnya suatu ketika, saat saya tanya mengapa lebih suka menyendiri.

Daripada lebih banyak bercengkerama, Didi justru lebih suka mengulik-ulik peristiwa, menuangkannya menjadi berita. Dengan leptop yang hampir selalu ia bawa. Didi menembus batas dan dinding setiap peristiwa. Ia menulis dalam sunyi. 

Bahkan, sehari sebelum ia kehilangan kesadarannya di RS Ulin Banjarmasin, dari status WhatsApp-nya saya sempat mengutip kata-katanya. 

"Terbaring di sudut ruang ini, adalah menulis dalam sunyi."

Bagi saya, tak ada firasat apa-apa kala itu. Sebab, soal sakit yang ia derita, tak pernah sekalipun ia keluhkan. Seolah, bagi dia menulis dan menyunting berita yang ada di meja redaksi, adalah obat dari segala sakit yang tak hendak ia rasakan.

Entahlah, status itu mungkin sebenarnya adalah pertanda, bahwa ia menyadari akhir dari perjalananannya sebagai seorang jurnalis yang idealis. 

Sekarang ia sudah tiba diharibaan-Nya. Didi G Sanusi, bagi saya tidak pernah mati. Bahkan abadi melalui karya-karya jurnalistiknya. Mungkin ia telah pergi. Tapi, ia tetap menulis dalam sunyi. Dan pasti tetap menjadi inspirasi. Selamat jalan sahabat sunyi.

Banjarmasin, 20 April 2024

Baca Juga :  Caleg Nasdem Nomor Urut 6 Dapil III DPRD Banjar, Ahmad Kusairi: Saya ingin Lakukan Perubahan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev