“Kekayaan atau sumber daya alam Indonesia selalu memiliki dua sisi, dikelola dengan amanah maka menghasilkan kesejahteraan, atau ditangani secara serakah sehingga menghasilkan mudharat seperti banjir, kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya,” jelas Senior Partner INTEGRITY Law Firm sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara tersebut.
Seringkali, kata Denny, kekuatan oligarki menanamkan saham untuk dua kepentingan, pertama dividen politik, kedua tameng kasus hukum.
Akibatnya, kebijakan pengelolaan SDA hanya memikirkan profit untuk kelompok privat, jauh dari kepentingan publik. Ini yang harus terus kita lawan dan perjuangkan dengan konsisten
Perkara hilangnya hutan negara seluas 8.610 hektar ini telah dikaji secara serius dan dilaporkan ke pihak-pihak berwenang lainnya.
Denny menyebut setidaknya ada 5 instansi yang telah disambangi untuk mengadukan kasus ini, yakni KPK, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, Kementerian LHK, dan Kementerian ATR/BPN.
Namun, lanjut Denny, sudah satu tahun laporan disampaikan, penanganannya terkesan stagnan dan terhambat. Sehingga, wajar bila muncul asumsi bahwa aparat penegak hukum “ogah-ogahan” menangani laporan di atas.
"Dari kacamata pelayanan publik, penanganan atas aduan atau keluhan masyarakat yang mencapai waktu 1 tahun merupakan kesalahan besar yang tidak dapat ditolerir." ujar Denny.
Sementara itu, Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, meminta Negara melalui 5 instansi dimaksud, u untuk segera menangani permasalahan hilangnya hutan negara ini secara serius.
“Fakta hukum maupun fakta lapangan sudah sangat jelas, bahkan sebelumnya ada pendapat dari KLHK bahwa kerjasama PT Inhutani II dengan PT MSAM yang berada pada areal kerja IUPHHK-HA PT Inhutani di Areal Penggunaan Lain ini tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." ujar Rambo, dikutip Banuaterkini.com, Rabu (01/02/2023).
Namun ketika dilaporkan, ujar Surambo, kasus ini tidak maju-maju. Jangan sampai ada dugaan yang aneh-aneh dari publik.