Zuraida, hanyalah satu potret di antara bingkai kehidupan dari ratusan warga Kampung Batuah lainnya, yang berusaha saling mendukung dan menguatkan menghadapi rencana revitalitasi Pasar Batuah yang akan berimbas pada kehidupan mereka.
Jika penggusuran jadi dilaksanakan, yang dipindahkan bukan hanya warga yang kuat secara mental dan mungkin siap menerima perubahan nasib dan pola hidup mereka, tetapi banyak pula warga yang akan kehilangan hampir seluruh harta benda miliknya yang dikumpulkan berpuluh-puluh tahun lamanya. Semata hanya untuk memuaskan syahwat dari kebijakan Pemko Banjarmasin yang tak berempati pada beban hidup warganya.
Pada saat dialog dengan Komnas HAM pun, Atul (40), seorang warga lainnya, bercerita sambil menahan derai air mata. Ia mengisahkan betapa dia bersama seluruh keluarga besarnya tak bisa membayangkan akan direnggut kehidupan mereka dan dipindahkan dari Kampung Batuah, tempat orang orang tua mereka tinggal, melahirkan dan membesarkannya lebih dari 40 tahun lalu.
Kepada rombongan Komnas HAM yang dipimpin Hairansyah, Atul sambil terisak mengisahkan betapa pilunya jika dia dan keluarganya beserta warga Kampung Batuah lainnya harus dipindahkan dari lokasi yang menurutnya menyimpang kenangan dan sejarah hidupnya.
"Membayangkan penggusuran itu rasanya teramat berat bagi kami, tak pernah terbayang itu akan terjadi di sini. Bagi saya dan juga warga Batuah lainnya, Batuah ini sudah mendarah daging. Jadi kami memohon melalui Komnas HAM agar rencana tersebut dibatalkan. Alasannya, Kampung Batuah ini, bukan sekedar kampung, tapi kampung ini adalah jiwa dan raga kami. Kampung batuah ini adalah hidup mati kami. Menggusur kawasan ini sama dengan membunuh kami," ujar Atu
Suaranya terbata dengan suara berat sambil sesekali terisak. Tampak raut mukanya diliputi kesedihan yang mendalam.
Atul juga menuturkan, bahwa banyak hal yang abai menjadi pertimbangan Pemko Banjarmasin saat merencanakan proyek revitalisasi. Salah satunya adalah persoalan pendidikan anak-anak warga Kampung Batuah.
"Sementara ini, kalo dari sini anak-anak kami sekolah tak perlu jauh, cukup dengan berjalan kaki sudah sampai. Kalau dipindah, maka kami harus memulainya lagi dari awal, termasuk mengatur ritme kerja kami yang sebelumnya sudah terbiasa hidup Kampung Batuah," imbuhnya.
Menurut Atul, mungkin bagi orang yang sudah berpenghasilan tetap seperti pegawai, masih punya waktu untuk mengantarkan anak-anaknya berangkat ke sekolah, tapi bagia sebagian besar warga Batuah yang harus berjualan mencari nafkah di luar Kampung Batuah, yang harus berangkat sejak azan subuh dikumandangkan. Maka kenyataan kalau terjadi penggusuran, warga harus memulai hidup mereka dari nol lagi.