Ini Kata Pakar, Soal Penyebab Robohnya Ikon Kampung Ketupat di Sungai Baru

Banuaterkini.com - Sabtu, 19 November 2022 | 15:14 WIB

Post View : 379

Inilah puing-puing sculpture ketupat di kampung ketupat Sungai Baru Banjarmasin yang roboh gegara diterjang angin kencang, Kamis (17/11/2022). Foto: Banuaterkini/Misbad.

Laporan: Misbad l Editor: DR MDQ

Peristiwa robohnya bangunan ikon Kampung Ketupat di kawasan Sungai Baru, Kecamatan Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin menyisakan sejuta tanya. Mengapa bangunan yang dibiayai dengan anggaran mencapai Rp6 miliar dan dianggap sebagai ciri khas sebagai sentra penghasil ketupat di Kota Banjarmasin bisa roboh diterjang angin? Ini pendapat pakar arsitektur dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM).

Banjarmasin, Banuaterkini.com - Menurut Pakar Arsitek ULM, Akbar Rahman, peristiwa robohnya ikon Kampung Ketupat di Sungai Baru semestinya tidak terjadi. Sebab, sangat mungkin saat menyusun perencanaan desain bangunan itu, arsitek kurang mempertimbangan risiko angin puting beliung di lintasan sepanjang Sungai Martapura, termasuk di lokasi bangunan.

"Berkaca pada struktur atap tenda menara pandang yang beberapa tahun lalu yang juga pernah diterjang angin.
Ini membuktikan bahwa area sungai martapura memang beresiko tinggi terhadap angin puting," kata Dosen Fakultas Teknik ULM Banjarmasin itu saat Banuaterkini.com meminta tanggapannya terkait robohnya ikon kampung ketupat, Sabtu (11/19/2022).

Sisa-ssia sculpture (bangunan serupa) ketupat yang dibangun menggunakan anggaran Rp6 miliar, pasca diterjang angin kencang Kamis lalu.

Seperti diketahui, bangunan ikon Kampung Ketupat yang dikenal sebagai sentra produksi ketupat di wilayah Kota Banjarmasin itu roboh saat diterjang angin kencang yang disertai hujan deras pada Kamis (17/11/2022) sore . 

Akbar menuturkan, bahwa pada prinsifnya arsitektur hijau tidak sepenuhnya bisa diterapkan pada bangunan seperti yang roboh itu, sebab penggunaan material bangunan kurang memanfaatkan bahan lokal sehingga tidak akan maksimal.

"Bambu yang digunakan sebagian berasal dari jogja, dan itu menjadi salah satu kebanggaan perencana. Tentu ini salah kaprah, karena arsitektur hijau itu harus memaksimalkan bahan lokal agar proses pembangunan lebih murah, ditambah pada proses pelaksanaan menggunakan tenaga kerja lokal. Selain itu rancangan wajib ramah lingkungan," ujar Akbar.

Robohnya bangunan, kata Ketua Arsitek Peduli Banua ini, menunjukkan bahwa desain arsitektural itu tidak tanggap terhadap kondisi lingkungan. Tepian sungai memiliki resiko angin yang cukup tinggi, dan itu tidak diperhitungkan secara matang. Buktinya pernah terjadi hal serupa di struktur bangunan tenda menara pandang, imbuhnya.

Akbar juga menduga, ada beberapa hal yang diduga kurang diperhatikan oleh perencana saat membuat desain yang menyebabkan robohnya sculpture ketupat, yaitu proporsi bentuk yang tidak seimbang dan adanya rongga yang bisa menangkap angin.

"Yang terpenting, adalah kemampuan struktur menopang bentuk sculpture ketupat dan perlunya memperhatikan aerodinamik bentukan terhadap angin," urai Akbar.

DR. Eng. Akbar Rahman,ST, MT,IAI, adalah alumni program doktor Saga University Jepang.

Selanjutnya, alumni program doktor dari Saga University Jepang ini juga mengkritisi konsep ruang terbuka hijau yang dianggapnya tidak ramah lingkungan.

"Adanya pagar yang cukup tinggi di sisi jalan, menunjukkan ruang terbuka ini menutup akses masyarakat lokal. Padahal, konsep arsitektur hijau harus dapat beradaptasi terhadap kondisi setempat atau sering kita sebut berkontekstual. Pagar bambu keliling menutup kontak sosial dengan kampung ketupat," ujarnya.

Pasca robohnya bangunan tersebut, Akbar juga menghimbau agar para pembuat kebijakan meninjau ulang, apakah aspek desain ruang terbuka ini sudah melewati proses perizinan pembangunan yang dipersyaratkan yaitu melalui proses perizinan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).

"Apakah saat proses perizinannya sudah di-review sebelumnya? Dan ini, tentu itu bisa dibuktikan dengan berita acara pemeriksaan desain atau usulan rancangan, karena menggunakan anggaran yang tidak sedikit," imbuh Pendiri Forum Kayuh Baimbai ini.

Jika melihat fakta dan peristiwa yang terjadi, kata dia, dirinya menduga klaim arsitektur hijau hanya isapan jempol saja.

Berdasarkan penelusuran, Banuaterkini.com yang mencoba mengkonfirmasi pada sebagian warga, masyarakat Sungai Baru mengaku hanya bisa pasrah melihat kondisi kampung mereka dibalut dengan dinding penyekat dari bambu yang seolah mengisolasi mereka.

"Saya berharap Pemerintah konsisten dengan komitmen awal, yaitu membangun ruang terbuka hijau di Kampung Sungai Baru ini. Kenyataannya konsepnya berubah menjadi ruang tertutup hijau," keluh seorang warga, Pepin yang sudah puluhan tahun biasa berjualan makanan dan minuman di sekitar lokasi proyek ruang terbuka hijau versi pemerintah itu.

Senada, seorang warga lainnya, Jaya, juga mengaku merasa terkejut melihat desain bangunan yang menurutnya jauh dari harapan masyarakat Sungai Baru.

"Ini bukan ruang terbuka hijau. Ini ruang tertutup. Buktinya ada dinding penyekat," ucapnya singkat.

Masyarakat berharap pasca peristiwa robohnya sebuah ikon yang dibangun Pemerintah Kota Banjarmasin dengan menggunakan dana sebesar Rp6 miliar itu tidak menjadi mubazir, karena bisa bertahan lama dan membuat masyarakat yang ada di sekitarnya benar-benar merasa nyaman dan bisa memanfaatkan keberadaan bangunan yang dananya berasal dari masyarakat itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev