Cerpen: Malam Takbiran

Banuaterkini.com - Selasa, 9 April 2024 | 17:08 WIB

Post View : 3

Hari ini tanggal 22 Oktober 2006. Kata Abah malam takbiran. Kata Emak? Ah, aku harus menanyakan lagi besok apa kata Emak sewaktu aku menjenguk makamnya?

Oleh: Swary Utami Dewi

Tapi ya, betul… Anang, temanku sehari-hari yang setia bersamaku pergi dari pagi sampai sore untuk menyemir sepatu di bandara Syamsuddin Noor, juga mengatakan ini adalah malam takbiran. Tapi yang Muhammadiyah aja. Yang NU baru lusa lebarannya, tanggal 24. Lho, kok bisa beda gitu? Aku tidak mendapat jawaban kecuali garukan kepala Anang menandakan kebingungannya.

Aku tidak peduli, apakah lebaran hari ini atau lusa. Bagiku tetap sama, lebaran membawa berkah. Pak Kusnanto, yang kerap kusemir sepatunya di bandara menyuruhku mampir ke rumah untuk mengambil hadiah lebaran. Dan janjinya malam ini. Pak Rusdi, langgananku yang lain, yang katanya punya belasan toko di Jakarta dan hampir dua kali seminggu bolak-balik Banjarmasin Jakarta, menyuruhku datang ke hotelnya, yang tidak jauh dari bandara, untuk mengambil hadiah lebaran untukku.

Mmh, aku membayangkan apa bentuk hadiah dari mereka. Aku memimpikan baju yang bagus, atau .. aku melirik sendal jepitku yang sudah hampir putus. Akhhh, sendal jepit lebih perlu kubeli. Itu kalau aku mendapatkan uang dari mereka. Kalau baju? Aku masih punya dua yang lumayan bagus dan hanya kupakai pada saat-saat tertentu saja: saat ulang tahunku, ulang tahun Abah dan pergi nyekar ke makam Emak.

Uhuk uhuk… Tergesa-gesa aku mengambilkan Abah segelas air putih. Abah meludah dan hi … aku agak ngeri melihat ludahnya bercampur darah. Abah, yang katanya belasan tahun lalu pindah ke Kalimantan dari Sumedang, ingin mengadu nasib di rantau orang. Nyatanya hanya Emak dan kamu yang Abah dapatkan, ingatku akan cerita Abah yang seringkali diulang-ulangnya. Lantas, Abah akan bercerita padaku tentang Emak, perempuan Banjar berkulit hitam, tapi manis, yang sangat disayang Abah. Emak, kata Abah, meninggal saat dia melahirkanku. Karena Abah hanya seorang tukang becak, dia tidak mampu membawa Emak bahkan ke bidan, saat dia melahirkanku. Emak meninggal karena pendarahan. Bidan Neneng, yang kemudian dipanggil tetangga sebelah untuk menolong Emak, hanya bisa menyelamatkan nyawa sang bayi. Akulah si bayi itu, Asep, yang kini berusia 7 tahun.

“Bah, minum Bah,” aku menyorongkan segelas air ke Abah. Huk, huk. Abah kembali terbatuk. “Obat Abah habis ya yang dari Puskesmas?” Abah menjawab dengan anggukan.

Aku diam melihat Abah hanya diam. Aku mengingat-ingat berapa uang yang sudah kudapatkan dari semiran seminggu ini. Rasa-rasanya, hampir cukup untuk membelikan obat Abah di tukang obat Cina dekat pasar Banjarbaru. Mudah-mudahan toko Akong masih buka malam lebaran ini.

“Bah, aku keluar dulu ya. Sebentar juga pulang.” Aku bergegas berlari mengambil sendal jepitku yang hampir putus, tanpa sempat mendengar jawaban iya atau tidak dari Abah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

BANNER 728 X 90-rev