"Lebih leluasa, bisa melihat suasana dan menuangkannya ke dalam berita," ujarnya suatu ketika, saat saya tanya mengapa lebih suka menyendiri.
Daripada lebih banyak bercengkerama, Didi justru lebih suka mengulik-ulik peristiwa, menuangkannya menjadi berita. Dengan leptop yang hampir selalu ia bawa. Didi menembus batas dan dinding setiap peristiwa. Ia menulis dalam sunyi.
Bahkan, sehari sebelum ia kehilangan kesadarannya di RS Ulin Banjarmasin, dari status WhatsApp-nya saya sempat mengutip kata-katanya.
"Terbaring di sudut ruang ini, adalah menulis dalam sunyi."
Bagi saya, tak ada firasat apa-apa kala itu. Sebab, soal sakit yang ia derita, tak pernah sekalipun ia keluhkan. Seolah, bagi dia menulis dan menyunting berita yang ada di meja redaksi, adalah obat dari segala sakit yang tak hendak ia rasakan.
Entahlah, status itu mungkin sebenarnya adalah pertanda, bahwa ia menyadari akhir dari perjalananannya sebagai seorang jurnalis yang idealis.
Sekarang ia sudah tiba diharibaan-Nya. Didi G Sanusi, bagi saya tidak pernah mati. Bahkan abadi melalui karya-karya jurnalistiknya. Mungkin ia telah pergi. Tapi, ia tetap menulis dalam sunyi. Dan pasti tetap menjadi inspirasi. Selamat jalan sahabat sunyi.
Banjarmasin, 20 April 2024