Di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, ketika Barus mengalami kemunduran sebagai pusat niaga dunia, dan tampaknya kapur bukan lagi salah satu komuditas utama dunia, pujangga Hamzah Fansuri menyebut-nyebut kapur dan barus dalam beberapa syairnya: Hamzah Fansuri di dalam Makkah/ Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah/ Dari Barus ke Qudus terlalu payah/ Akhirnya dapat di dalam rumah. Syair lain adalah: Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus/ Seperti kayu sekalian hangus/ Asalnya laut tiada berharus/ Menjadi kapur di dalam Barus.
Guru besar antropologi kesehatan dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Rusmin Tumanggor, menuturkan kapur barus pun disebut dalam kitab suci Alquran surat Al-Insan ayat 5.
"Sungguh, orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang diminum oleh hamba-hamba Allah dan mereka dapat memancarkannya dengan sebaik-baiknya."
Hingga peneliti farmasi dari Prancis Nouha Stephan dalam artikel "Kamper dalam Sumber Arab dan Persia" yang menyebut istilah kafur juga terdapat dalam syair-syair yang dipercayai ditulis sebelum munculnya agama Islam.
Di sini kafur dibandingkan dengan minyak kasturi untuk melambangan kontras warna putih dan hitam. Kamper pun masuk dalam daftar obat-obatan peradaban Sassanid pada abad ke-6 M. Tercatat dalam buku tertua ilmu kedokteran yang ditulis dalam bahasa Persia abad ke-10 M, kamper digunakan untuk menghentikan mimisan dengan dicampur dengan air kurma hijau dan kemangi.
Begitu juga dengan buku-buku kedokteran berbahasa Arab menunjukkan kamper dipakai dokter-dokter terkenal dalam abad ke-9 dan 10 M. Dulu kala, menurut Marco Polo, saat itu harga jualnya setara dengan logam mulia. Namun kini pohon barus yang menghasilkan kamper sangat jarang ditemui.
Tak banyak orang yang tahu keberadaannya. "Sekarang yang masih ada itu sisa-sisa banyak yang habis karena pembalakan dan alih fungsi hutan," ujar peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, Aswandi.
Persoalan sulitnya mendapat pohon kapur berusia tua yang mengandung minyak, kata Aswandi, dapat diatasi dengan mengekstrak minyak dari daun. "Tidak perlu pohonnya ditebang. Kalau bisa dihasilkan dari daun yang bisa bertumbuh sepanjang tahun, panennya bisa berkelanjutan.
Selain itu, panen minyak dari daun juga bisa lebih cepat dilakukan. Daun-daun bisa didapatkan dari pohon yang sudah berusia 5 (lima) tahun. Pohon kamper hilang karena banyaknya penebangan liar. Secara alami, pohon kapur tidak berbuah setiap tahun sehingga perbanyakannya harus menyesuaikan dengan waktu pohonnya berbunga dan berbuah.
Namun jika melihat sebaran alami dan sifatnya yang dominan, secara teori, meskipun kapur tidak berbuah setiap tahun namun dapat menjadi pohon dominan dan tersebar luas dalam suatu hamparan. Memang saat ini nilai jual kristal kamper dan minyak kapur sudah kalah oleh nilai jual kayunya sehingga produk nonkayunya menjadi kurang diminati, sedangkan kamper sintetis lebih mudah di dapat dan harga murah.